Kalau saja isyu suap tidak hadir, apakah kita akan memenangkan dua pertarungan away baik di Singapura maupun di Tokyo? Jawabnya, ya kita memang pantas untuk kalah. Mengapa demikian, selain yang diucapkan Ketua Umum PSSI Kardono para pemainnya kurang ngotot, juga karena mereka tidak padu sebagai satu tim.
Hal ini bisa kita lihat dari cara mereka main di dua tempat itu. Di Singapura misalnya, bagaimana kita bisa menang jika striker seperti Ricky Jakob dan Bambang Nurdiansyah harus turun jauh ke belakang hanya untuk mencari bola. Dan bagaimana keduanya mampu mencetak gol. Jika tak sekali pun ada suplai dari para gelandangnya?
Tidak Seirama
Selain itu, kerja tim pun tak seirama. Ada pemain yang bermain dengan cepat dan keras, tetapi ada juga pemain yang bermain dengan gaya menari. Dengan begitu irama yang seharusnya terikat menjadi satu warna, tak tertuang sama sekali.
Mengenai sistem yang dipakai pun kelihatan tidak tepat. Banyak kesalahan dasar yang mereka lakukan. Misalnya melakukan tekanan justru pada daerah di mana lawan banyak berkumpul, sehingga bola tidak mengalir sama sekali.
Untuk itu, maka bukan hal Istimewa jika kita harus menderita kekalahan 0-2 dari Singapura dan 0-3 dari Jepang. Lalu, bagaimana peluang kita sendiri untuk meloloskan diri? Dengan kenyataan bahwa Jepang telah mengantongi empat angka dari dua kemenangannya selain dari Indonesia, Singapura pun dikalahkan 1-0, maka peluang itu sangat tidak mungkin. Hanya keajaibanlah yang bisa menolong kita untuk meloloskan diri.
Tetapi bukan berarti kita harus menyerah begitu saja. Melawan Singapura, 26 April mendatang, segala kekuatan harus dituangkan untuk kembali menegakkan citra sepakbola itu sendiri. Singapura harus kita kalahkan.
Berat memang, tetapi peluang untuk itu tetap ada, jika Bertje Matulapelwa dan dua asistennya, Sutan Harhara serta Sarman Panggabean melakukan berbagai perubahan.
Pemanggilan Tiastono Taufik dari Persiraja dan Ferrel Hattu dari Gresik, sebenamya belum menjamin kekuatan kita seluruhnya. Tias, pemain serba bisa yang diandalkan Bukhard Pape dalam tim yunior, belum tentu bisa cepat beradaptasi dengan para pemain senior. Sementara Ferrel, boleh dibilang sudah lama tak tampil dalam pertandingan internasional.
Menutupi Kelemahan
Tetapi bahwa, ada usaha untuk menutupi kelemahan itu dengan memanggil keduanya, ini pun satu langkah positif yang perlu dihargai. Artinya Bertje dan asistennya sudah mengetahui betul tentang kelemahan yang ada.
Hilangnya Elly Idris di lapangan tengah, memang belum terisi oleh Ferrel. Tetapi setidaknya pemain yang pernah memperkuat tim Pra Piala Dunia itu bisa diandalkan untuk menjadi penyalur bola. Sedangkan Tias, bisa juga diturunkan menjadi bek sayap.
Dengan hadirnya Tias, maka Budiawan akan memperoleh partner yang cukup imbang. Tetapi itu jika Tias dapat segera beradaptasi dengan para senior.
Sementara Ricky Yakob dan Ribut Waidi, akan lebih leluasa bekerjasama, setelah hilangnya Bambang Nurdiansyah. Ribut yang dalam tim PSIS, sang juara divisi utama Perserikatan, akan bertugas menjadi pembuka dan perusak pertahanan lawan. Sedangkan Ricky menjadi algojo yang menyelesaikan lewat lubang demi lubang yang dibuat Ribut.
Ditambah dua bek yang aktif, maka diharapkan frekuensi serangan kelak akan lebih berarti lagi. Jika serangan menjadi lebih gencar, maka peluang pun menjadi lebih banyak.
Di bawah mistar, baik Putu Yasa maupun Ponirin Meka, sudah menunjukkan kelas masing-masing. Keduanya bisa dipilih berdasarkan kondisi akhir mereka.
Sedangkan untuk posisi stoper dan libero, tanpa Robby Darwis pilihan akan tetap jatuh pada Marzuki Nyak Mad. Sementara Herry Kiswanto akan tetap tak tergeser dari jabatannya sebagai libero.
Kebiasaan Marzuki untuk menebang lawan pun harus kembali diterapkan. Tetapi perlu diingatkan agar tidak melakukannya di daerah berbahaya. Dengan permainan keras seperti itu, diharapkan Fandi dan Sundramoorthy menjadi lebih berpikir lagi.
(Penulis: Mahfudin Nigara - Tabloid BOLA, edisi no. 164, 18 April 1987)
Editor | : | Caesar Sardi |
Komentar