2, meski sempat unggul 1-0 sejak menit ke-27.
Kegagalan di tangan Syria, bukan hasil buruk yang pertama dihadapi Garuda dalam kejuaraan ini. Gambaran permainan yang nyaris sama sudah dialami Garuda ketika melawan Bangladesh: kebobolan pada detik-detik terakhir. Untung ketika itu mereka sudah unggul 2-0. Tetapi seandainya mereka cermat, waktu yang hanya terpaut setengah detik tak perlu membuahkan gol. Jika itu tak terjadi, Garuda juga masih beruntung. Tetapi semua telah berlalu, begitulah jadinya. Harapan tinggal harapan.
Menurut Ketua Umum PSSI, Kardono, Piala Asia bukan merupakan sasaran inti. "Seperti saya katakan sebelum berlangsungnya kejuaraan ini. Piala Asia hanya merupakan sasaran antara," katanya setelah memberi salam para pemain.
Selanjutnya dikatakan, kekalahan ini jangan sampai membuat anak-anak patah semangat. "Mereka masib muda, perjalanan ke tingkat yang lebih tinggi masih cukup jauh. Biarlah ini jadi pelajaran untuk berlaga Iebih baik di masa datang," sambung Kardono.
Salah Semua
Sementara itu, tokoh kawakan dari Medan, Kamaruddin Panggabean, seperti biasa memberi komentar berapi-api. "Ini salah mereka semua!" katanya dengan dialek Medan yang medok. Ia mempertanyakan sikap Barbatana yang sepanjang babak diam saja tanpa instruksi.
"Pelatih macam apa itu?" ujarnya setengah berteriak. Seharusnya katanya pelatih Brasil itu tahu apa yang mesti dibuat anak-anak. Para pemain sendiri tidak bisa dipersalahkan seratus persen karena, kata Kamaruddin, mereka kehilangan kendali. Namun ia cepat menukas kembali: "Yah, pokoknya salah semua deh!"
Bagi bekas kapten PSSI Sutjipto Suntoro, kegagalan Garuda merupakan akibat kurangnya pengalaman. "Seharusnya mereka tahu apa yang mesti dibuat setelah kita unggul. Tapi apa boleh buat, sejarah rupanya memang menuliskan kita tak boleh berbicara di final Piala Asia," katanya dengan wajah lesu. Tetapi secara keseluruhan, Sutjipto menilai permainan anak-anak Garuda sudah cukup.
Tetapi menurut pelatih nasional Sinyo Aliandoe, kekalahan Garuda tidak lain karena masalah stamina. "Lain tidak ada. Kita lihat saja, mereka dipaksa untuk bertahan dengan setengah lapangan. Ketangguhan mereka rontok," tutur pelatih PSSI Pra Piala Dunia ini.
Namun menurut Ronny Pattinasarani, kekalahan itu tidak lebih karena Garuda tidak mampu mengubah tempo permainan lawan. "Sebarusnya, mereka jangan mengikuti irama permainan Syria tetapi harus membuat tempo sendiri yang kontras dari tempo lawan. Kita lihat, hampir sepanjang babak kiper Hermansyah selalu menembakkan bola ke depan. Padahal mestinya dia bisa mencuri beberapa menit," ujar libero dan kapten Tunas Inti ini.
Heran
Yang paling tidak dimengerti oleh Ronny adalah sikap Barbatana yang diam saja, meski pun ia melihat keadaan sudah sangat rawan. "Saya masih lihat ada tiga pemain cadangan. Mestinya diturunkan untuk menggantikan pemain sayap Danny Bolung yang praktis dalam permainan tidak berfungsi. Pemain bertahan yang harus diturunkan untuk melapis pertahanan. Kita kan sedang digempur," sambung Ronny.
Kalau begini terus-menerus, menurut Ronny, sayang duit terbuang begitu saja. "Harusnya kita bisa maju ke final," katanya tak melanjutkan kata-katanya.
Tampaknya Barbatana memang tak belajar dari pengalaman. Ia terlalu terpaku dengan beberapa pemain saja. Padahal mestinya ia berani menurunkan pemain lain, jika ada pemain yang tidak fit. Tetapi seperti kasus Abdul Khamid yang tampil buruk ketika menghadapi Bangladesh, terus dibiarkan main, kasus serupa terulang ketika menghadapi Syria. Apa boleh buat, peluang emas pun terbuang.
Tetapi apalagi yang mesti kita buat, tak lagi berguna untuk Piala Asia 84. Kita memang tak perlu terlalu hanyut, namun untuk mengoreksi diri, sebaiknya Barbatana juga terbuka. Begitu juga manajer E.E. Mangindaan. Bicaralah dan lihat kenyataan di atas lapangan.
Bagi Syria sendiri, kemenangan atas Indonesia ini merupakan langkah yang paling menggembirakan setelah peluangnya dua kali terancam. Ambisinya untuk berlaga di Singapura, menjadi kenyataan setelah Muangthai yang bermain di Solo hanya mampu mengalahkan Bangladesh 2-1. Selisih gol Syria 9-8 lebih bagus dari Indonesia dan Muangthai yang sama-sama mengumpulkan 6 angka dari lima pertandingan. Sayang, final Sabtu malam ini hanya berfungsi adu gengsi buat dua tim tamu - dan kita semua hanya jadi penonton.
(Penulis: Mahfudin Nigara - Tabloid BOLA, edisi no. 25, Jumat 18 Agustus 1984)
Editor | : | Caesar Sardi |
Komentar