Begitu mendapat tugas mengeksekusi penalti, gelandang Persib Bandung yang bertubuh mungil ini langsung mengambil posisi dengan baik. "Saya biasa dalam latihan sebagai penembak penalti," katanya. "Waktu itu, saya juga yakin bola akan menggetarkan gawang Markus Woff," lanjut pemain dengan nomor punggung 18 itu.
Tetapi betapa ia kecewa. Bola yang coba ditempatkan di sisi kanan gawang Perseman Manokwari, terpantul keluar. "Saya benar-benar tak mengerti, mengapa bola terpantul keluar," begitu tutur Bambang Sukowiyono dengan datar.
Beruntung ketika itu Persib bisa menebus ketinggalannya dari Perseman dan selamat hingga ke babak semifinal. "Kalau kami sampai kalah, tak tahulah mau apa saya," sambung Suko dengan logat campuran Jawa dan Sunda.
Dua tahun lalu, dalam final divisi utama PSSI melawan PSMS, Suko tampak begitu terpukul setelah Persib kalah dalam adu penalti. Tetapi kegalauannya saat itu bukan lantaran tugasnya menjaringkan si kulit bundar gagal, namun sebaliknya. Dari lima penembak, hanya Suko dan Wawan Karnawan yang berhasil. Tiga penembak lainnya, Ajat Sudrajat, Wolter Sulu, dan Giantoro gagal. Persib kalah 2-3.
"Mudah-mudahan kali ini tidak lagi demikian," ucap Suko penuh harap. Ya, rupanya kekalahan yang paling memilukan memang justru dari adu penalti.
Mutiara
Lahir di Solo, 7 Februari 1960, ternyata Suko merupakan satu-satunya pemain Persib yang berasal dari luar Jawa Barat. "Ia, seperti mutiara," kata salah seorang ofisial Persib.
Suko sendiri tidak merasa asing, meski ia harus membela daerah yang bukan tanah tumpah darahnya. "Kan masih sama-sama Indonesia," tukasnya sambil tertawa. Betul sekali, dan Suko bukan satu-satunya anak Jawa yang bermain untuk provinsi atau kota lain. Dalam kubu PSMS Medan saja, kesebelasan yang paling digandrungi masyarakat Sumatera Utara, anak-anak Jawa begitu dominan sejak dulu. Belum lagi di Jakarta.
Anak keempat dari tujuh bersaudara pasangan Hatmowiyono, asli Solo, dengan Kadarustini gadis Magelang ini baru hijrah ke Kota Kembang tahun 1978. Sebelumnya ia besar di kota kelahirannya dan menamatkan sekolahnya di STM V jurusan Mesin.
Di Solo, Suko menjadi rekan seangkatan bekas pemain nasional Didik Darmadi. "Kami sama-sama yunior di Solo," ujar karyawan bagian valuta asing, Bank Bumi Daya, Bandung itu. Namun nasibnya tak secemerlang Didik. Selepas bermain untuk klub Mars, Suko bergabung dengan klub IPI di Bandung. Tetapi sejak tahun 1980 hingga saat ini, Suko bermain untuk klub Setia, "Bersama Robby Darwis dan Jafar Sidik," ujarnya.
Tak Takut
Kalau kita melihat kegigihannya, Suko sudah pantas lebih besar dari sekarang. Kemampuan tekniknya pun cukup lumayan. Tetapi barangkali lantaran postur tubuh yang agak kecil, Suko sulit bersaing dengan pemain-pemain setarafnya.
Tetapi seperti gambaran perjuangannya di atas lapangan, Suko tak putus harapan. Ia terus bertarung dalam pertandingan demi pertandingan tanpa memperdulikan lawan-lawannya yang jauh lebih besar. Bahkan untuk berduel dengan para pemain Perseman. Suko juga tidak kelihatan gentar sama sekali.
Ia sendiri, tidak tahu kenapa ia sama sekali tak memiliki rasa takut. "Saya pikir main bola kan harus sportif, jadi kenapa kita harus takut," tutur Suko sambil menghapus peluh yang membaluri tubuhnya.
Berbicara soal kejuaraan kali ini, Suko mengharapkan Persib mampu menjadi juara. "Yah, sebagai pemain, tentu saja gelar juara itu sangat kita dambakan," katanya.
Ditanya soal wanita, Suko tak memberikan jawaban. "Wah belum mikir apa-apa. Yang saya pikir saat ini gelar juara," tukasnya singkat.
(Penulis: Mahfudin Nigara, Tabloid BOLA, edisi no. 50, Jumat 8 Februari 1985)
Editor | : | Caesar Sardi |
Komentar