Bukan singkatan yang susah ditebak. Kepanjangan Porci adalah Persatuan Olahraga Cikini. Bisa ditebak pula, klub ini berkaitan erat dengan perguruan Cikini di Jalan Cikini Raya, Menteng, Jakarta. Perguruan yang mempunyai reputasi luas dan dikenal sejak lama dengan menghasilkan banyak lulusan yang kemudian jadi "orang".
Porci memang berada di bawah lindungan Yayasan Perguruan Cikini. Tapi jangan kira seluruh kebutuhan klub ini ditanggung oleh dana yayasan itu atau perguruan itu sendiri - dengan begitu banyak kelasnya, dan tentu saja muridnya.
Menurut ketua umumnya Ny. Mamie Untung Widodo, yayasan hanya menyumbang Rp 60.000 per bulan. Padahal biaya yang dibutuhkan untuk memutar kegiatan Porci tak kurang dari Rp 250.000. "Terpaksa, untuk menutup biaya selebihnya harus diambil dari kantong sendiri," kata Ny. Mamie, istri salah seorang pengurus yayasan.
Kalau pemungutannya lancar, biaya itu sebenarnya juga bisa diimbangi dari iuran. Yakni Rp 250 untuk tiap anggota cabang bola basket dan Rp 500 untuk voli. Para anggota itu pun - yang tidak terbatas pada pelajar perguruan Cikini, tapi juga bisa dari luar - ditarik uang pendaftaran Rp 1.000 per kepala.
Lumayan
Jumlah anggota Porci, menurut Ny. Mamie, kini sekitar 200, mulai dari tingkat SD, SMP, SMA, sampai Perguruan Tingginya. Namun demikian cabang olahraga yang digiatkan sejauh ini baru basket dan voli itulah. "Baru dua saja sudah kalang kabut," kata sang ketua umum ketika ditanya kenapa dia tidak mengembangkannya ke beberapa cabang lain yang populer, termasuk sepakbola.
Tapi boleh jadi justru karena sedikitnya cabang yang digalakkan, prestasi Porci terhitung lumayan. Istimewa untuk regu basketnya. Dalam kompetisi Perbasi Jaya untuk periode 82-83 misalnya, regu putra Porci mampu meraih kedudukan ketiga di Divisi I, sedangkan putrinya di urutan keempat.
Selain itu Porci juga pernah merebut gelar juara dalam turnamen memperebutkan Piala Geronimo di tahun 82. Dan pada tahun berikutnya, mereka menjadi juara tiga Piala Kramika 83 serta juara dua dalam turnamen Mini Basket 84.
Dalam turnamen Piala Kelapa Gading baru-baru ini, prestasi mereka lebih menonjol. Memang hanya meraih kedudukan kedua di bawah sang juara, tapi salah seorang pemain Porci, Jeffrey Waworuntu, terpilih sebagai pemain terbaik. Prestasi ini dihadiahi tidak saja piala tapi juga uang, yakni Rp 500.OOO untuk regu sebagai juara kedua dan Rp 100.000 untuk Jeffrey sendiri sebagai pemain terbaik.
Jeffrey yang terampil dan tampan - ia juga peragawan - memang termasuk pemain andalan buat Jakarta. Bulan lalu misalnya, ia juga terpilih memperkuat tim Jakarta dalam kejuaraan nasional di gedung olahraga Pluit.
Sponsor
Itu rupanya yang membuat Ny. Mamie dan para pengurus lainnya makin gigih menggiatkan perkumpulannya. Apalagi bibit-bibit muda kian hari tampaknya kian banyak. hingga pembinaan musti dilakukan berjenjang. Ada tingkat pemula dan tunas, selain yunior dan senior.
Latihan bagi para pemula dan tunas diserahkan kepada Jimmy Mantik, sedangkan untuk tingkat senior kepada Rastafari. Ini bukan pelatih sembarangan karena Rastafari juga termasuk pelatih dalam klub Indonesia Muda, anggota Liga Bola Basket Utama (Gabatama).
Porci memang tidak untuk iseng. Para anggota dilatih, ditempa, untuk jadi atlet berprestasi. Tapi karena mereka memang pelajar, tentu ada saja halangannya. "Kesibukan sekolah cukup menghambat latihan. Apalagi menjelang ujian," kata Rastafari.
Belum lagi hambatan ruang latihan. Dalam kompleks Perguruan Cikini sendiri memang ada lapangan. Tapi kecuali pada hari Minggu di mana seluruh anggota diwajibkan latihan bersama, lapangan Cikini sendiri sulit dipakai. Maklum, bisa mengganggu ketenangan belajar, di samping harus digunakan untuk keperluan sekolah sendiri.
Maka mau tak mau, sayap barus dilebarkan. Tempat latihan dipecah ke Kuningan dan Menteng. Daerah Senayan pun masuk dalam hitungan, tapi diutamakan untuk pembinaan fisik dengan memanfaatkan bukit-bukitnya yang amat digemari atlet segala cabang itu.
Tapi di sinilah persoalan Ny. Mamie timbul lagi. Biaya serba cekak. Ibu tiga anak yang gemar voli dan rokok Dunhill ini terpaksa mengeluh lagi. Dan lantaran kepada perguruan Cikini sendiri nampaknya tak mungkin lagi, ia menoleh ke tempat lain yang belum pasti. "Kami memerlukan sponsor," tuturnya.
Cukup pelik juga. Padahal kalau orang tua murid mau turun tangan, pasti tak jadi masalah lagi untuk perguruan sebesar Cikini.
(Penulis: A.W. Subarkah, Tabloid BOLA edisi no. 1/3 Maret 1984)
Editor | : | Caesar Sardi |
Komentar