Kartono mengelak, dan kemudian terlentang di lapangan karpet Stadion Negara Kuala Lumpur, tapi tidak untuk kalah. Bahkan gerakan tanpa raket itulah yang menentukan kemenangan Indonesia atas Cina dalam final perebutan Piala Thomas, pekan lalu.
Di depannya, Liem Swie King melonjak penuh kegembiraan sekejap sebelum menolong Kartono - bangun - dan menikmati kemenangan dua set atas pasangan Sun Zhian dan Tian Bingyi yang sekaligus menjadi kunci keunggulan tim 3-2.
Ya, dengan perjuangan keras selama enam jam dalam lima partai yang mencekam, piala lambang supremasi dunia bulutangkis itu akhirnya kembali ke Indonesia - setelah dua tahun dipinjam Cina. Sukses yang dengan tepat telah diramalkan akrobat ulung Iie Sumirat beberapa hari sebelum kejuaraan dimulai.
Tapi pasti Iie sendiri tidak akan menduga kunci kemenangan itu ada di tangan pasangan King/Kartono, duet baru yang belum sekalipun dicoba dalam pertandingan resmi.
Buah pikiran manajer tim Rudy Hartono bersama pelatih Tan Joe Hok dan tokoh-tokoh dalam "brain trust" PBSI itu memang suatu perjudian yang berhasil. Bertolak belakang dengan hasil perjudian lain dalam tim Piala Uber ketika membuat pasangan Ivanna Lie/Ruth Damayanti yang malah memusnahkan peluang ke semifinal.
"Perubahan pasangan ganda Indonesia membuat rusak permainan kami. Kami tidak menduga Indonesia akan tampil dengan kombinasi ganda seperti itu," kata manajer Cina Wang Wenjiao.
Tapi sukses kombinasi baru itu jelas tak lepas dari peranan kedua pemain itu sendiri. Kartono tak bisa lain dituntut oleh dirinya sendiri untuk membuktikan bahwa ia punya harga yang pantas untuk menjadi sang pemenang, seperti telah ia buktikan dua kali di All England bersama Heryanto.
Dan King, tak bisa tidak, terbakar oleh api semangat setelah kekalahan yang "tak perlu" dari Luan Jin di partai tunggal pembukaan.
Siapa menduga King yang di set pertama menang cukup mudah 15-7 dan sempat unggul 6-2 di set berikutnya, akhirnya justru harus menelan kekalahan?
Mereka yang pernah menyaksikan kekalahan King dari Han Jian dalam Asian Games 82 di New Delhi, memang bisa menganalisanya sebagai ciri kelemahan pemain terbaik Indonesia itu. Ia unggul 10-1 waktu itu, tapi Han Jian yang memang kondisi fisik dan emosionalnya amat prima, mengejar, menyusul, dan meninggalkannya.
Tapi di Kuala Lumpur malam itu King tidak menghadapi lawan sekaliber Han Jian pada puncak permainannya. King hanya bukan seorang Yustedjo Tarik yang bisa membuat teror antiteror. Ia hanya bisa kesal, mengeluh, dan protes tanggung terhadap "call" dan keputusan tak cermat dari penjaga garis dan wasit. Dan Luan Jin mengambil keuntungannya.
Sesudah itu, seperti dilaporkan wartawan BOLA Ian Situmorang dari Kuala Lumpur kubu tim Indonesia seperti dilanda bencana paling dahsyat.
Maka tak heran kalau kemenangan Hastomo atas Han Jian dalam partai tunggal berikutnya, tak perduli sang lawan tidak fit dan kurang persiapan - seperti diakuinya kemudian, menjadi gunung es untuk seonggok api duka.
Dan kemudian, Icuk yang kini sebaiknya main ganda dulu, memang tidak diharap akan bisa menundukkan Yang Yang, si kidal yang eksplosif dan penuh keyakinan. Tapi modal sudah cukup untuk mendorong permainan total Christian/Hadibowo dan King/Kartono. Dan itulah yang terjadi.
Piala perak dengan tinggi 71 cm dan lingkaran 40 cm itu kini sudah kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Sukses kedelapan dalam sepuluh perjuangan.
(Penulis: Ian Situmorang, Tabloid BOLA edisi no. 13, Jumat 25 Mei 1984)
Editor | : | Caesar Sardi |
Komentar