Walkman merek Panatone itu menggantung di lehernya. Memakai kaos hijau dengan blue jeans nyaris belel, Elly Elyas Pical asyik duduk di gardu jaga bersama beberapa pemuda sebaya dan dua orang tua. Terus terang, saya belum begitu mengenal wajahnya. Sedikit gambaran hanya saya peroleh dari koran. Kebetulan waktu tanya seseorang, ia memberi jawaban bahwa yang memakai walkman itulah Elly, sang juara baru OPBF.
"Wah, Elly baru saja ke belakang," ujar salah seorang temannya ngobrol ketika saya pura-pura bertanya. Tetapi akhirnya toh Elly sendiri tak bisa mengelak. Ia tertawa. Meski tidak berderai, tetapi kesan bersahabatnya begitu hangat saya rasakan.
"Saya makan dulu ya," ujarnya dengan kalimat agak terbata. Gaya bicaranya memang begitu. Ia tidak bisa berbicara dengan lancar. Tetapi, sekali lagi, bahasa senyumnya, bukan cuma bersababat, namun juga membuyarkan gambaran kalau ia seorang yang pendiam. Apalagi, kalau dibilang sangat pendiam.
Ia sedang menjadi bintang sekarang. Usaha temannya mengecoh saya itu, barangkali didorong oleh rasa iba. Sebab setelah keberhasilannya membikin babak belur Hee Yun Chun, itu petinju Korea Selatan yang mengantarnya merebut mahkota juara OPBF kelas super terbang, wartawan-wartawan seperti tak henti-hentinya mendatanginya. Satu per satu, berganti-ganti, mewawancarai Elly.
Barangkali, inilah yang menjengkelkan Elly. Jengkel lantaran ia tak kebagian waktu untuk istirahat. Sampai makan pun terlambat.
"Sebentar lagi boss datang," ujarnya ketika melewati gedung sasana tinjunya dari gardu jaga. "Nanti malam ada pesta kecil-kecilan."
Siapa yang disebutnya boss kalau bukan Ir Simson Tambunan. Ia adik Ir Rio Tambunan, pemilik sasana Garuda Jaya yang kini sudah jauh dari olahraga. Sasana itupun diserahkan pada Simson yang kini sekaligus jadi manajer dan pelatih.
Dari Nol
Elly boleh dibilang memulai karir dari nol. Mengenal ring tinju pada usia 15 tahun, anak kelahiran 24 Maret 1960 ini ditangani almarhum Teddy van Room.
Tiga tahun setelah tekun berlatih, ia bergabung dengan sasana tinju Garuda Pattimura. Tahun itu ia juga merebut gelar juara nasional di Ujungpandang. Kemudian tahun 1980 dan 1981 ia terpilih sebagai petinju terbaik di kelas terbang Kejuaraan Piala Presiden. Tetapi pada SEA Games XI di Manila ia hanya merebut medali perunggu.
Tahun itu pula Elly memutuskan untuk memilih tinju prof. Alasannya, sebagai petinju amatir ia tak memperoleh apa-apa. Tinju amatir tak mampu memberinya harapan yang cerah di masa depan. Sesuatu yang mungkin harus dipikirkan oleh PB Pertina. Bahwa untuk mencetak petinju yang betul-betul bisa diandalkan untuk mengangkat nama baik bangsa, dibutuhkan modal yang tidak sedikit. Singkatnya, pembinaan tinju amatir harus ditangani lebih serius.
Elly barangkali bisa dijadikan contoh. Keberhasilannya mengalahkan Hee Yun Chun di Seoul dengan kemenangan angka mutlak selama 12 ronde itu diperojehnya dari kerja kerasnya selama ini. Sebuah perjuangan dari pergulatan hidup yang pantas menjadi contoh bagi atlet-atlet lain.
Prestasi Elly yang ditunjukkannya sebagai anggota Garuda Jaya, tentu juga berkat tangan dingin Ir. Simson plus kemurahannya.
Makannya sehari-hari dan lain sebagainya, pendeknya seluruh kebutuhan Elly dan kawan-kawannya, dijamin penuh oleh Ir. Simson. Tanpa itu, Elly sangat mungkin tak akan mampu berbuat banyak.
Putra keenam dari tujuh bersaudara ini, punya tinggi badan 163 cm dan berat 52 kg. Dengan latihan keras selama satu setengah bulan, ia telah menunjukkan prestasi lumayan gemilang.
Dengan latihan lebih keras dan intensif pasti ia akan menunjukkan prestasi yang lebih tinggi. Pengagum Muhammad Ali dan Larry Holmes ini, memang punya cita-cita untuk menjadi juara dunia.
"Yakin saya. Pasti," katanya mengenai cila-citanya itu. Itu makanya sampai kini ia mengaku tak pernah memikirkan soal pacar. Nanti, setelah tiga kali mempertahankan gelar OPBF ia baru berniat mencari teman hidup.
(Penulis: Aba Mardjani, Tabloid BOLA edisi no. 14, Sabtu 2 Juni 1984)
Editor | : | Caesar Sardi |
Komentar