suara tersebut. Dukungan besar yang dikumandangkan Acub Zainal, pimpinan proyek ini, makin mengesampingkan segala ocehan orang untuk terus berjalan.
Kerjasama Sinyo, Basri, dan Salmon yang merupakan orang baru, malah semakin terlibat padu. Ketiganya saling berbagi tugas. Misalnya, Basri menangani pemain depan, Salmon khusus pemain bawah, dan kiper dipegang langsung oleh Sinyo. Di luar lapangan, diskusi juga sering mereka lakukan. Tapi apakah ini semua jadi tanda akan bagusnya hasil mereka di medan pertandingan, tentu terlalu pagi untuk menebak-nebaknya.
Lebih baik untuk sementara ini mengenal lebih dekat ketiga pelatih itu lewat biografi singkatnya. Siapa tahu masih ada yang belum kenal betul siapa mereka.
Sinyo Aliandoe
Nama lengkapnya Sebastianus Sinyo Aliandoe. Lahir di Flores, 1 Juli 1940. Sinyo mengawali karirnya sebagai pemain sepakbola secara sungguh-sungguh justru di Bali. Tapi tahun 1957 di Sumba, NTT, ia juga sudah menendang bola.
Kemudian malang melintang sebagai pemain di Persibal Bali, Persebaya Surabaya, Persija Jakarta, dan PSMS Medan, lantas Pardedetex dan PSSI. Setelah mendapat sertifikat FIFA 1973, ia mengalihkan karirnya sebagai pelatih. Ia berjaya membawa Persija sebagai juara PSSI dan sekaligus PON VIII/1973.
Sebagai pelatih, Sinyo juga pernah mengenyam pendidikan tingkat internasional di Inggris dan Brasil. Sayang sebagai pelatih klub maupun tim nasional sejak ada Galatama belum ada karya besarnya yang dapat dinikmati para pencinta sepakbola nasional.
Ayah dari tiga putra ini sangat menyukai dua pemain Brasil Pele dan Didi. "Keduanya merupakan pemain terhebat menurut saya," katanya. Sinyo yang belakangan rajin belajar tenis, juga menyenangi petenis urakan John McEnroe. Sedangkan tokoh politik yang dikaguminya adalah John Kennedy almarhum.
Mohammad Basri
Setelah membawa Niac Mitra Galatama menjadi juara dua kali berturut-turut, nama Basri sebagai pelatih menjadi sorotan utama. Selain sukses itu, ayah lima putra asal Ujungpandang ini juga mencatatkan suksesnya sebagai pelatih Indonesia pertama yang meraih sukses di luar negeri dalam sepuluh tahun terakhir, pada saat sepakbola nasional sedang suram.
Ketika itu Basri membawa Niac Mitra Surabaya sebagai juara dalam turnamen Piala Emas Agha Khan di Bangladesh. Tetapi terakhir justru ia merosot: gagal membawa Niac menjadi juara untuk ketiga kalinya. Meski memang berat karena ditinggal sejumlah pemain andalannya.
Lahir di Ujungpandang 5 Oktober 1942, Basri yang dibesarkan pelatih E.A Mangindaan dan Tony Pogaknik, merupakan gelandang nasional sejak tahun 1962-1973. Dalam masa itu, Basri dikenal sebagai pengatur serangan yang bagus. Tetapi ia tak sempat mengkuti pendidikan pelatih di luar negeri, walau sebenarnya ada peluang untuk berguru ke Brasil bersama Sinyo.
Salmon Nasution
Sejak diberi kepercayaan oleh bos Warna Agung, Benny Mulyono, untuk berguru melatih di Inggris dan Jerman Barat tahun 1981-83, Salmon Nasution baru sekarang mempunyai kesempatan menerapkan ilmunya untuk persepakbolaan nasional.
Semula diharapkan Among, begitu panggilan akrabnya, menangani Warna Agung. Tetapi tampaknya ada sesuatu yang membuatnya hilang dari peredaran sepakbola. Ia seperti menghilang, dan hanya nampak di lingkungan Persija Utara.
Ia juga merupakan satu-satunya pemain potensial di tahun 1970-an yang gagal menyandang status sebagai pemain nasional resmi, meski sering mewakili Indonesia lewat Persija. Ini lantaran sikapnya yang keras dan tegas, hingga sering memberi kesan susah diatur.
Tetapi bujangan Batak yang lahir di Ujungpandang 25 Mei 1944 ini tak pernah kecewa pada keadaan. Ia berharap dalam tim ini ia bisa menerapkan apa yang telah dipelajarinya di negerinya Kevin Keegan dan Rummenigge.
(Penulis: Mahfudin Nigara, Tabloid BOLA edisi nomer 15, Jumat 8 Juni 1984)
Editor | : | Caesar Sardi |
Komentar