"Berangkat, dan bawa kembali Piala Thomas!" Meski dalam nada bergurau, pesan bos itu terus ada dalam pikiran saya sejak berangkat dari Jakarta. Apalagi ketika pada 14 Mei itu saya menginjakkan kaki di bandar udara Subang dan malamnya langsung ke Stadion Negara Kuala Lumpur.
Stadion itu, atau lebih tepat gedung, supaya tidak membingungkan asosiasi, begitu terang benderang, seperti siang hari saja. Jauh lebih terasa terang dan bersih dibanding Istora Senayan yang kurang perawatan itu.
Mungkinkah ini pertanda nasib tim Piala Thomas kita juga bakal terang benderang? Ah, tapi bukankah semua tim negara lain juga menikmati cahaya bak siang hari itu?
Maka pikiran saya kembali agak menyurut. Saya teringat pada kekesalan dan kekhawatiran sejak di Jakarta ketika dari radio mendengar Liem Swie King dan kawan-kawan bahkan nyaris kalah dari Inggris sebelum memaksakan kemenangan tipis 3-2 di pertandingan pertama yang oleh banyak teman dianggap sekedar pemanasan.
Bersama itu pandangan saya arahkan juga kepada tim Korea Selatan, lawan King cs di semifinal 14 Mei malam itu. Mungkinkah sinar terang itu kembali akan menguntungkan nasib "orang-orang Utara" yang terkenal gigih dan tak kenal menyerah itu? Mungkinkah mereka akan membabat tim kita seperti kejutan yang dibuat ketika mengalahkan Denmark untuk memastikan tiket ke semifinal?
Terus terang, kekhawatiran itu membayang di pelupuk mata saya. Apalagi koran-koran setempat terasa lebih menjagoi Korsel. Bahkan ada yang mengutip ucapan juru bicara Korsel bahwa para pemainnya akan "fight to death" (berjuang hingga mampus). Disebutkan pula kemungkinan Park Joo Bong, tunggal pertamanya yang memaksa juara All England Morten Frost Hansen bertarung tiga set, akan membuat kesulitan serupa pada King.
Tapi kemudian, ternyata, kekhawatiran saya sia-sia. Memang mula-mula alot, tapi akhirnya King cukup mudah menaklukkan lawannya yang masih muda itu. Dan kemudian menyusul Hastomo Arbi, Icuk Sugiarto, Christian/Hadibowo, bergantian merebut set dan match. Walau akhirnya pasangan juara All England Kartono/Heryanto gagal, menjadikan kemenangan 4-1 dan maju ke final.
Cina! Itu perhitungan hampir semua orang dan juga saya, tentang lawan kita di final, meski semifinal Cina-Inggris belum berlangsung. Dan memang tidak meleset. Dengan mudah Luan Jin cs, menyingkirkan tim dari negeri asal bulutangkis yang tak pernah sukses dalam perebutan Piala Thomas-nya sendiri itu.
Menjelang final empat malam kemudian, bayangan saya ganti ke masa 14 tahun lalu - meski hanya dari buku. Di sini, di gedung ini juga, waktu itu, Rudy Hariono, Mulyadi, Darmadi, Indra Gunawan, Indratno, dan Minarto, berjuang mati-matian untuk merebut kembali Piala Thomas yang tiga tahun sebelumnya direnggut Malaysia tidak melalui pertandingan yang "sah".
Kalau dulu Rudy sukses, baik di nomor tunggal maupun ganda, kenapa sekarang, sebagai manajer, tidak? Memang, lawannya bukan lagi Malaysia yang sekarang merosot, melainkan Cina yang makin disegani dunia sejak merebut Piala Thomas dari tangan kita dua tahun lalu di London.
Meski melalui perjalanan set demi set, pertandingan demi pertandingan yang menegangkan, seperti anda semua tahu, akhirnya Rudy memang memetik sukses kembali. Dengan kerjasama pelatih Tan Joe Hok, asisten manajer Soemarsono, dan sebuah "brain trust", Rudy membuat kombinasi pasangan baru King/Kartono yang ternyata menjadi kunci kemenangan - setelah dibuka dengan amat gemilang, dan mengejutkan oleh Hastomo.
Maka kemudian saya menyaksikan sebuah pesta nostalgia. Seperti suasana 14 tahun lalu ketika Mulyadi digotong ramai-ramai oleh penonton Indonesia setelah memastikan kemenangan 5-1, begitulah yang terasa di gedung Negara Kuala Lumpur malam itu.
Kekalahan King yang mengecewakan di tunggal pertama melawan Luan Jin, kegagalan Icuk bangkit dari pamor sebagai juara dunia 83, tak terkilas lagi sedikit pun saat itu. Semua larut dalam kegembiraan yang meluap. Tak peduli rakyat jelata yang datang ke Kuala Lumpur untuk mencari nafkah sebagai tukang batu, tidak juga seorang Sultan Hamengkubuwono IX atau Menpora Abdul Gafur atau Ketua Harian KONI Pusat Dadang Suprajogi - semua tenggelam dalam suka cita. Juga para pemain tim Piala Uber yang menjadi juru kunci di babak perempatfinal melonjak-lonjak dari kursinya di pinggir lapangan.
Dan saya pun merasakan ketenangan, ketentraman, kepuasan batin yang susah dilukiskan. "Misi" tercapai. Keberangkatan saya yang nyaris tak jadi, ternyata memberikan hasil yang amat berharga. Sampai, dalam hati, saya bergurau: apakah karena kedatangan saya yang terlambat seminggu dibandingkan rekan-rekan wartawan lain, piala itu bisa direbut lagi?
Saya sadar, akhirnya toh saya tak akan dapat lagi melukiskan suasana pesta nostalgia di Stadion Negara itu biar pun sekedar mendekati kenyataan. Kejutan atau kegembiraan kebanyakan orang sudah mulai menurun ketika saya harus memulai laporan ini. Apalagi rekan-rekan dari koran harian sudah jauh lebih dulu mengantarkan lukisan atau potret dan rekamannya dari gedung bersejarah itu.
Kendati demikian toh saya merasa masih punya sisa untuk disajikan, meski tak banyak. Yang jelas, kekuatan kita sebenarnya memang ada di atas Cina. King kalah bukan karena ia lebih jelek dari Luan Jin, Icuk tersungkur bukan karena ia tak punya potensi untuk menundukkan pemain sekaliber Yang Yang. Dan di atas semua itu, semangat dan keuletan Cina ternyata bukanlah harga yang tak bisa ditawar. Kegigihan Hastomo, Christian/Hadibowo, dan King/Kartono terbukti lebih hebat, dan menyingkirkan mereka dari pasaran.
Tapi memang, ini berarti tugas lebih berat menghadang di depan kita. Dan lebih-lebih lagi buat Ivanna cs yang ternyata masih jauh dari kemampuan Theresia Widyastuti, Tati Sumirah, dan Minarni cs yang merebut Piala Uber, sembilan tahun lalu.
(Penulis: Ian Situmorang, Tabloid BOLA edisi nomer 13, Jumat 25 Mei 1984)
Editor | : | Caesar Sardi |
Komentar