Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Dari Klub Penuh Bintang Jadi Penuh Cobaan

By Caesar Sardi - Kamis, 7 Maret 2013 | 07:00 WIB
Dudung Abdullah (kiri) pemain Bekasi yang disulap menjadi pemain nasional.
Dok. Tabloid BOLA
Dudung Abdullah (kiri) pemain Bekasi yang disulap menjadi pemain nasional.

bintang sepakbola nasional yang ketika itu masih jadi idola masyarakat, Warna Agung merupakan kekuatan tersendiri.

Deretan nama besar seperti Risdianto, Renny Salaki, Timo Kapissa, Tinus Heipon. Ronny Pattinasarani, Budi Riva, Endang Tirtana, Rully Nere, Simson Rumahpasal, Robby Binur, adalah jaminan mutu. Kemampuan teknik rata-rata pemain memang paling jempolan di tanah air.

Bahkan timbul kesan, Warna Agung mampu menciptakan skor sesuai keinginan para pemain. Kemampuan para pemain yang rata-rata satu kelas di atas pemain klub lain itulah yang menjadi dasar anggapan tersebut.

Warna Agung dengan pelatihnya dokter Endang Witarsa yang kemudian digantikan Harry Tjong, kala itu memang seperti sebuah tim seniman. Hampir tak ada tenaga kasar yang dipertontonkan barisan pendukungnya di atas lapangan. Semua serba indah dan enak. Sampai akhirnya gelar terhormat yang pertama dipertaruhkan Galatama mereka peroleh dengan mudah.

Namun setelah memperoleh gelar itu, Warna Agung justru kian menurun. Hal ini membuat bos besar Benny Muljono menjadi gusar. Apalagi dia mensinyalir adanya faktor non teknis yang bertebaran di klubnya. Hal itu juga yang menyebabkan Benny kemudian melepaskan klub tersebut dari tangannya dan mempercayakan seorang bawahannya untuk mengelolanya. Tetapi Benny tetap memberikan dukungan finansial.

Setelah itu beberapa pemain teras Warna Agung pun hijrah ke Tunas Inti. Diawali dengan Jeffrey Pranata, Stefanus Sirey, Rully Nerre, Ronny Pattinasarani, dan Robby Binur.

Ketika dokter Endang kemudian kembali memangku jabatan pelatih, Warna Agung seperti ingin disulap. Klub ini kembali menggetarkan gawang-gawang Galatama: merobek ke kiri dan ke kanan dengan sepasukan anak-anak muda Bekasi yang direkrut sang dokter. Tetapi nasib tak banyak berubah: Warna Agung gagal lolos ke delapan besar setelah dua kali kalah dari Caprina.

Tanjung Priok

Menurut Benny Muljono, berdirinya klub tersebut sebenarnya tidak berdasarkan rencana yang masak. Maksudnya, tidak lahir dari benaknya sendiri. Namun demikian, ia yang mengaku amat tergila-gila dengan olahraga ini tetap merasa amat senang. Hal ini dibuktikan dengan terus memberikan dukungan finansial sampai sekarang.

Proses kelahiran klub tersebut dimulai tahun 1971. Tepat bulannya Benny tak ingat. Tetapi yang pasti suatu siang ia kedatangan sekitar enam pemain UMS amatir. Ia kenal keenam pemain tersebut karena memang sering menyaksikan pertandingan UMS dalam kompetisi Persija di mana para pemain tersebut bergabung.

Para pemain tersebut antara lain Bob Permadi, Renny Salaki, Gunawan, dan Surya Lesmana. "Mereka minta pekerjaan pada saya," tutur Benny yang kini menjabat manajer tim Pra Piala Dunia.

Setelah melewati beberapa proses, keenamnya langsung diterima. "Tapi tidak sedikit pun pikiran saya waktu itu terbuka untuk mendirikan klub sepakbola. Penerimaan keenam pemain itu sebagai karyawan Warna Agung hanya semata-mata untuk membantu kehidupannya saja," lanjut Benny.

Namun setelah keenamnya berkumpul, suatu hari Benny mendengar dari bawahannya ada klub dengan nama Warna Agung akan main di Tanjung Priok. "Saya terkejut. Soalnya saya belum pernah merasa mendirikan satu klub sepakbola. Tetapi karena saya amat menyukai sepakbola, saya pergi juga ke sana untuk menonton," katanya dihiasi dengan tawa kecil.

Setelah berada di lapangan, teka-teki tentang klub Warna Agung itu terbuka. Ternyata enam pemain UMS yang baru satu bulan diterimanya menjadi karyawannya itulah yang bikin gara-gara. "Inilah pertandingan pertama Warna Agung. Waktu itu mereka menang cukup telak. Tetapi berapa skornya, saya lupa,'' kenang ayah empat orang putra ini.

Namun demikian menurut Benny ia tetap belum terusik untuk mendirikan klub. Baru setelah beberapa kali keenam pionir Warna Agung tersebut melakukan beberapa pertandingan dan selalu menang, sekitar akhir tahun 1971, Benny tergugah juga. Belum bersedia mendirikannya secara resmi, tetapi kegiatan sudah mulai disokong.

Menjamin Hari Tua

Mulailah babak baru bagi Warna Agung. Selama tahun 1972, klub ini terus-menerus melakukan pertandingan keliling yang bisa dijuluki seperti Tour de Java. Setiap ada undangan dari mana saja, mereka selalu menerimanya.

"Malah pernah di daerah Jawa Tengah, rombongan terpaksa tidur di mobil karena tak kebagian hotel. Waktu itu kami masih lebih sering main di kampung-kampung dan kota kecil," lanjut Benny.

Setelah merasa matang dan sejiwa karena selama tahun 1972 melakukan pertandingan keliling, Benny Muljono mengumpulkan seluruh anggota tim. Kemudian dibangunlah mess untuk para pemain dan diberi gaji khusus sebagai karyawan yang main sepakbola. Itulah awal Warna Agung hadir dalam percaturan sepahbola nasional.

Karena sifatnya yang bukan amatir tapi prof pun tidak, maka Warna Agung hadir dalam Galakarya. Klub ini juga yang menjadi pionir lahimya kompetisi untuk klub-klub karyawan perusahaan itu.

Dalam masalah status para pemain, Warna Agung hingga saat ini memiliki perbedaan paling menyolok dengan klub-klub lain. Di sini para pemain seluruhnya tidak terikat kontrak, tetapi diangkat sebagai karyawan, lengkap dengan kartu karyawannya. "Jadi mereka adalah karyawan. Namun demikian, memang ada yang khusus main sepakbola."

Langkah itu ditempuh untuk menjamin kehidupan para pemain itu sendiri di hari tua. Benny MuIjono tidak ingin pemain terbuang begitu saja setelah tak lagi menendang bola. "Setelah pensiun, mereka sudah harus menentukan bidang mana di pabrik ini yang akan ditekuni untuk melangsungkan kehidupannya," kata Benny.

Kuda Hitam

Ditanya tentang kekuatan Warna Agung dalam kompetisi mendatang, Benny Muljono menolak untuk memberi jawaban. "Sudah saya katakan, sekarang Warna Agung sepenuhnya berada di tangan Frans Jo dan segi teknisnya di bawah Endang Witarsa. Jadi saya tak tahu," katanya tertawa lebar.

Namun sebagai pemilik dan penyokong finansial, ia berharap ada perbaikan. Bagaimana jalannya menuju perbaikan itu sepenuhnya ia percayakan kepada kedua orang itulah.

Tetapi tampaknya Warna Agung di bawah dokter Endang kembali akan mengejutkan seperti ketika mereka hadir dalam kompetisi yang lalu. Gelar "kuda hitam" yang melekat di bahu para pemainnya akan tetap melekat.

Perombakan drastis tidak terjadi di tubuh klub ini. Hanya saja beberapa pemain muda dari kota kesukaan Endang Witarsa, Bekasi, sudah kembali hadir.

Ketika ia merekrut Warta Kusuma dan kawan-kawan dari kota itu, orang tersenyum sinis. Tetapi setelah melewati fase "neraka" yang dibuatnya untuk menempa bibit itu, orang harus menggelengkan kepala berkali-kali.

Di Warna Agung, banyak pemain yang pasti merasa tak kerasan. Apalagi bagi pemain-pemain dengan predikat "salon". Tetapi setelah melihat hasilnya, gelar neraka akan luruh dengan sendirinya.

Di sana setiap pemain mendapat jatah latihan tiga kali sehari. Pagi di luar mess, siang di dalam aula (dengan irama disko sambil latihan beban), dan sorenya latihan menembak gawang.

Dengan cara ketat seperti itu pula dokter Endang menyulap UMS 80 dari sekumpulan anak-anak Ternate yang tidak terkenal menjadi klub yang cukup disegani. Kini, mampukah Warna Agung melonjak lagi seperti zaman Ronny-Risdianto, masih harus kita tunggu.

(Penulis: Mahfudin Nigara, Tabloid BOLA edisi no. 19, Jumat 6 Juli 1984)


Editor : Caesar Sardi


Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

YANG LAINNYA

SELANJUTNYA INDEX BERITA

Close Ads X