16 Juni lalu mendudukkan tim Indonesia pada posisi juru kunci di salah satu grup penyisihan. Indonesia yang diwakili oleh siswa-siswa Ragunan (Galasiswa) berturut-turut menelan kekalahan dari Hongaria 3-1, dari Uni Soviet 2-1, dari Korsel 4-1, dan Muangthai B 1-1.
"Kita memang kalah," kata pelatih Maryoto kepada BOLA di kantor sekolah Ragunan. "Tetapi dari segi pembinaan, ada kemajuan," tambahnya.
Dikatakannya, Grup B di mana Indonesia berada, memang berat karena terdiri atas negara-negara sepakbola. "Jadi kekalahan itu wajar," katanya lagi.
Di samping itu, menurut Maryoto, lawan-lawan yang dihadapi Indonesia banyak yang mencatut umur. Pemain Indonesia yang dikirim ke Bangkok itu berusia antara 16 sampai 18 tahun, sesuai dengan peraturan panitia. Tetapi tidak demikian dengan tim-tim lawannya.
"Bagi mereka," kata pelatih yang lahir 15 Mei 1940 ini, "remaja adalah mereka yang berusia 23 tahun ke bawah. Jadi yang dikirim ke sana adalah anak-anak yang sudah berusia rata-rata 20 tahun." Hal ini diyakininya setelah ia berbicara dengan beberapa pemain Hongaria sendiri.
"Jadi, kalau kita juga mau menang, maka kita pun harus berani mencatut umur," Maryoto menyimpulkan.
Langkah ini, menurutnya, bukan sesuatu yang mustahil akan dilakukan Indonesia. Katanya mengingat kondisi publik kita yang selalu menginginkan kemenangan dari tim apapun yang dikirim ke suatu turnamen.
Racun
Dalam invitasi itu, tim Indonesia menerapkan taktik permainan bola rendah. Kecuali itu, para pemain juga diinstruksikan supaya berani menggiring bola ke arah dua lawan, kemudian melewatinya dengan kerja sama one two atau doublepass.
Jika berada di kotak penalti, mereka diharapkan berani menembak dan mengambil risiko pelanggaran oleh lawan, atau menembak tangan lawan.
Taktik ini, ditambah dengan pola permainan 4-4-2, berhasil dilakukan pada 30 menit pertama ketika melawan Uni Soviet. "Kita kurung habis lawan," ujar Maryoto. Tetapi toh gagal di menit-menit berikutnya.
Anak-anak PSSI Yunior malah lebih banyak melakukan pelanggaran sehingga kekalahan 3-1 dari Hongaria dan 2-1 dari Uni Soviet, di antaranya akibat tendangan bebas.
"Melawan Korsel, kita memang kalah sebelum bertanding," lanjut Maryoto. Tapi secara pribadi ia menyayangkan pemberitaan media massa kita, yang seolah menyanjung Korsel. Yaitu tentang kegagalan Indonesia melawan Korsel sejak generasi Sutjipto Suntoro dan Iain-lain. Semua ini dinilainya meracuni semangat pemain-pemain muda kita.
"Padahal, Korsel sendiri sebenarnya takut dengan kita," kata Maryoto. "Mereka tahu kita punya gebrakan dan serangah yang menusuk. Sayangnya, kenyataan ini tidak disadari oleh pemain-pemain kita."
Kena Mulut
Skor 1-1 ketika melawan Muangthai, diakui Maryoto adalah karena kesalahan penjaga gawang, Wan Armansyah. Tembakan balasan oleh Muangthai itu dilakukan sayap kanan Thammvit Siritham 12 menit setelah Noah Meriem menyarankan bola pada menit ke-54.
Tembakan Thammavit, menurut Maryoto, seharusnya cukup dipukul ke luar dan bukan ditangkap seperti dilakukan Armansyah. Ternyata bola lepas, dan menggulir dalam gawang untuk menyamakan kedudukan 1-1.
Tetapi prestasi Galasiswa di Bangkok itu rupanya memang hasil maksimal yang bisa dicapai. Pertandingan-pertandingan itu merupakan tambahan pengalaman untuk mematangkan tim pelajar itu.
Apalagi mereka sudah menunjukkan semangat bertanding yang tinggi dan tidak demam lapangan seperti yang terjadi dalam kejuaraan Yunior Asia di Bangladesh beberapa waktu lalu. Di Bangkok, kata Maryoto, "Tak ada pemain yang melakukan heading tapi kena mulut. Di Bangladesh itu ada." Ia tertawa mengenangnya.
Enam belas pemain mengikuti invitasi itu. Mereka adalah Bambang Gatot Irawan, Wan Armansyah (penjaga gawang), Theodorus Bitbit (kapten/back), Tyas Tono Taufik, Zainal Asri, Troy G Kandouw, Sudana, Frank Sinatra Huwae, Ricky Darmawan, Mokar Mustari, Jamil Nusar, Noah Meriem, Budiman Yunus, Nurhadi, Steven Mauri dan Eryono.
Maryoto menolak menyebutkan siapa saja yang diharapkan kelak menjadi pemain-pemain nasional atau akan berprestasi lebih menonjol.
"Tak usah disebut namanya," elak Maryoto. "Pemain kita lain dengan pemain Eropa. Di sana, pemain yang dipuji tidak akan menjadi besar kepala."
Menurutnya, seluruh pemain memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tinggal tergantung bagaimana pembinaan yang dilakukan pada mereka. Yang jelas, beberapa pemain yang memperkuat PSSI Yunior ke Bangkok ini, kelak akan meninggalkan Ragunan dan akan bergabung ke Solo. Dan itu berarti lepas dari pengamatan Maryoto maupun para pembina Iain yang selama ini menangani mereka seperti manajer tim E.E. Mangindaan.
Tarkam
Maryoto cukup lama menangani tim ini. Ia menghentikan karir sepakbolanya tahun 1964 ketika masih yunior dan mengalami cedera. Tahun 1966 mulai belajar menjadi pelatih dengan terjun di klub-klub kampung. Ia memberi istilah Tarkam, Tarikan Kampung.
Prestasinya di sini, cukup membanggakan ketika mengantarkan tim Kampung Serdang menjadi juara se-DKI. "Anda tahu," katanya, "kalau namanya DKI, pasti ada pemain-pemain nasionalnya toh?" Itu terjadi pada HUT Jakarta yang ke-444.
Tahun 1978 ia sudah memegang ijazah pelatih tingkat Komda. Setahun kemudian memiliki ijazah nasional yang ditugaskan melatih tim pelajar di Ragunan.
Pengamatannya tentang kecurangan-kecurangan yang dilakukan tim yunior luar negeri (soal catut umur), adalah berkat pengalamannya selama ini. "Sudah sering saya membawa tim yunior ke luar negeri," katanya.
Tentang perlawatan tim yunior ke Bangkok ini, semula ia menolak memberi keterangan. "Apa sudah ada izin dari pak Mangindaan?" tanyanya. "Saya tidak ingin ada kesalahpahaman. Saya ingin antara para pembina terjalin hubungan yang tetap mesra."
(Penulis: Aba Mardjani, Tabloid BOLA edisi no. 19, Jumat 6 Juli 1984)
Editor | : | Caesar Sardi |
Komentar