besaran.
Terbukti, putaran final selama dua minggu di Prancis ini memang menyajikan sepakbola dengan kualitas nomor satu setelah perebutan Piala Dunia. Di antara sukses besar Prancis, yang merebut gelar juara pertamanya sejak federasinya didirikan 80 tahun lampau, dan kegagalan juara bertahan Jerman Barat yang bahkan tak mampu masuk semifinal, masih terdapat banyak catatan - dalam kemegahan maupun keprihatinan.
Denmark misalnya, belum apa-apa sudah menelan pil pahit ketika salah seorang pemain andalannya, Alan Simonsen, menderita cedera berat yang menghentikan karirnya paling tidak untuk enam bulan. Tapi toh negeri yang memang termasuk pengekspor subur pemain-pemain prof ini masih tetap mampu melaju - untuk kalah tragis dari adu penalti dalam semifinal ketat melawan Spanyol.
Spanyol sendiri memiliki catatan menarik. Keberuntungan banyak membantunya, sampai terantuk di final dalam pertarungan yang mereka anggap tidak mulus karena perwasitan yang berat sebelah. Buntutnya, ratusan orang Spanyol berdemonstrasi di depan konsulat Prancis di Madrid sebagai protes atas "kemenangan yang tak sah".
Sebagai semifinalis lain, Portugal juga dinilai sukses, bahkan dianggap telah mampu bangkit dari kemerosotan setelah masa kejayaan Eusebio di tahun 1960-an. Belgia, runner up empat tahun lalu yang kini gugur di penyisihan, masih pula bisa bersinar melalui bintang masa depannya, Enzo Scifo.
Dalam tubuh Prancis yang sukses, kapten dan pencetak gol terbanyak Michel Platini dianggap sebagai raksasa tak lain oleh Just Fontaine, pendahulunya yang legendaris. Tapi yang lebih mengemuka dan dipuji dunia adalah trionya di lapangan tengah bersama Jean Tigana dan Alain Giresse.
Para pengamat mensejajarkan trio "magnifique" ini dengan kehebatan tiga serangkai Brasil: Zico, Falcao, Socrates. Sebagian lagi menganggapnya sebagai bentuk dan gaya yang lebih efektif dibanding trio lapangan tengah Belanda 1974 - masa yang dianggap jadi kelahiran total football, warna permainan Prancis sekarang.
Prancis melahirkan sepakbola baru yang elegan, kata bekas pemain terkenal Inggris, Rob Hughes. Pujian lain masih bisa beruntun sukses yang memang besar. Tapi bagi kita di sini yang lebih menarik adalah bagaimana mengambil hikmahnya untuk kepentingan sepakbola kita sendiri.
Di depan kita kini telah terbentuk tiga tim nasional: PSSI Garuda, PSSI Galatama, dan PSSI Perserikatan, dengan tugasnya masing-masing. Dapatkah salah satu saja dari mereka memetik kemegahan sebagaimana Prancis meraihnya?
Akan nikmat sekali kalau kelak jawabannya positif. Pers, setelah ibaratnya ikut berpesta dalam sukses Prancis, amat mendambakan pesta lain bersama tim nasional sendiri.
(Penulis: Sumohadi Marsis, Tabloid BOLA edisi no. 19, Jumat 6 Juli 1984)
Editor | : | Caesar Sardi |
Komentar