Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Noah Meriem, Pele-nya PSSI Garuda

By Caesar Sardi - Senin, 11 Maret 2013 | 09:00 WIB
Noah Meriem (kedua dari kiri) mengangkat tangan setelah mencetak gol. Bintang harapan.
Dok. Tabloid BOLA
Noah Meriem (kedua dari kiri) mengangkat tangan setelah mencetak gol. Bintang harapan.

Baru genap seminggu bergabung dengan PSSI Garuda, Noah Meriem telah menyelamatkan wajah kesebelasan harapan itu.

Gol yang dicetaknya dengan sentakan kaki kiri mulus, melahirkan balasan yang amat dibutuhkan untuk menghindarkan kekalahan dari Lech Poznan, klub juara Polandia. Maklum, tak lama lagi kesebelasan yang ditempa pelatih asal Brasil ini akan membawa nama bangsa ke Kejuaraan Piala Asia di Jakarta.

Noah, putra kedua dari delapan bersaudara keluarga Pendeta Meriem dan Kamya, dilahirkan di Biak, 24 Oktober 1964. Ia memang menampilkan permainan terbaiknya, Minggu malam lalu. Sekaligus juga melahirkan begitu besar harapan.

Gaya permainannya mirip dengan orang-orang Brasil. Tak aneh kalau ada yang menjulukinya Pele. Mampu berkelit di antara kaki-kaki pemain Lech Poznan yang jauh lebih besar. Tendangannya juga terarah dan keras. Keberaniannya dalam berduel juga lumayan. Tinggal pematangan lewat sentuhan tangan Barbatana, Borges, dan Eddy Soiyan.

Menurut Sutjipto Suntoro, bekas bintang sepakbola nasional tahun 70-an, Noah bisa menjadi pemain besar. "Asal dia tidak cepat merasa puas hati dan besar kepala. Bakat dan tekniknya lahir secara alamiah," katanya memuji.

Noah sendiri mengaku tidak pernah dibentuk oleh siapa pun untuk bermain sepakbola. Sejak SD, ia sudah menyukai bola kaki. Kemudian ketika ada pemilihan pemain untuk POPSI Jayapura tahun 1981, ia yang saat itu duduk di kelas III SMP Negeri I Jayapura terpilih.

Setelah tampil di Jakarta, komisi pelatih yang ditugaskan untuk menjaring anak-anak berbakat, yang . bekerjasama dengan Depdikbud waktu itu, menjeratnya. Diboyonglah Noah ke Ragunan. Kemudian ia dipoles oleh Omo Suratmo dan Maryoto.

Tetapi Sutjipto menyayangkan, Noah masih sering terlalu lama bermain sendiri. "Ia seperti kerasukan dengan bola. Memang begitu lengket dan nikmat untuk ditonton, tapi untuk tim jadi kacau," ujar si Gareng, panggilan akrab Sutjipto.

Ini pun diakui Noah dengan jujur. "Saya masih sering keenakan main sendiri. Tetapi sejak dulu saya tak pernah mendapat teguran. Sekarang saya sadar, kepentingan tim jauh di atas segalanya. Saya akan berusaha mengubah sikap ini," tukas pengagum Johan Cruyff ini.

Menurut E.E. Mangindaan, manajer PSSI Yunior, tempat Noah dimatangkan, penampilan Noah memang begitu. "Tapi saya yakin, dalam waktu sisa ini ia mampu menyesuaikan diri dengan rekan-rekan barunya itu. Kalau sudah begitu, kita akan melihat bintang baru."

Noah yang terpaksa harus memangkas rambutnya menjadi plontos seperti rekan-rekannya, memang bercita-cita ingin jadi tentara. "Saya ingin memanggul senjata kalau sudah lulus sekolah nanti," tukas siswa kelas III IPA, SMA Negeri Ragunan ini.

Dengan tegas ia menolak untuk bergabung dengan Galatama. Bukan karena persoalan suap-menyuap yang sedang ramai dibicarakan orang, tapi karena ia memang sejak kecil bercita-cita memanggul senjata.

Sejak berada di Ragunan, ia memperoleh uang saku Rp 10.000 per bulan. "Cukup untuk keperluan sendiri," ujar pengagum penyanyi Henny Poerwonegoro ini dengan tawa berderai.

(Penulis: Mahfudin Nigara, Tabloid BOLA edisi no. 22, Jumat 27 Juli 1984)


Editor : Caesar Sardi


Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

YANG LAINNYA

SELANJUTNYA INDEX BERITA

Close Ads X