Luan Jin tumbang di tangan Hadiyanto. Hadiyanto menyerah pada Icuk Sugiarto. Icuk roboh di set kedua melawan Hastomo Arbi. Dan Hastomo gagal merebut gelar menghadapi Lius Pongoh, rekannya yang baru tampil lagi setelah absen dua tahun.
Dari sini saja bisa tergambar bagaimana serunya persaingan dalam kejuaraan Indonesia Terbuka tahun ini - dengan jumlah hadiah yang lebih besar: Rp 50 juta, hingga nilainya dalam rangkaian Grand Prix dunia pun makin tinggi.
Nilai kejuaraan itu sendiri semakin tinggi jika diingat ada pula dua jago dunia lain yang hadir - dan kalah. Yang pertama harus disebut tentu saja Liem Swie King, yang kalah dramatis di perempatfinal melawan Lius setelah sempat unggul 14-1 di set penentuan.
Kemenangan sensasional Lius itu ternyata bukan semata-mata keberuntungan atau rezeki. Sebab dalam pertarungan berikutnya, di semifinal, ia menaklukkan lawan lain yang tak kalah tangguh: Morten Frost Hansen, jagoan Denmark yang memenangkan lima dari enam turnamen dalam tahun ini.
Maka tak heran kalau Rudy Hartono, Ketua Bidang Pembinaan PBSI, tak berpikir lama untuk memasukkan pula nama Lius dalam daftar pelatnas untuk SEA Games, Asian Games, dan Piala Thomas. "Kemenangannya harus kita hargai secara wajar dengan memberinya tempat di pelatnas," kata Rudy yang nampak begitu bergembira.
Sepanjang mengenai pemain putra, nampaknya kita memang cukup boleh bergembira. Seperti menyambung sukses Piala Thomas. Apalagi jika menyebut nama Christian Hadinata, pemain paling senior yang paling stabil dan konsisten, hingga mampu merebut dua gelar: ganda putra bersama Hadibowo dan ganda campuran bersama Ivanna Lie. Masih harus ditambahkan, pasangan yang dikalahkan Christian Hadibowo adalah pasangan Indonesia pula, juara All England Kartono Heryanto.
Ini tentunya menambah kontras perbandingan jika kita menengok ke bagian putri yang sepi gelar - disapu RRC dan Inggris. Sampai kapan begini, Minarni?
(Penulis: Ian Situmorang, Tabloid BOLA edisi no. 22, Jumat 27 Juli 1984)
Editor | : | Caesar Sardi |
Komentar