tahun penuh kenangan manis buat Risdianto berlalu sudah. Bintang lapangan hijau 1970-an itu, kini beralih menjadi pelatih.
Dia terkenal sebagai pemain yang "licik" karena kelihaiannya menggunakan kaki dan kepalanya. Tidak asal lari mengejar bola, tapi teknik dan ketepatan waktu selalu dimanfaatkan. Maka tidak heran, setiap kali bergerak di daerah pertahanan lawan, ia selalu diawasi secara khusus.
Reputasi Risdianto dalam kejuaraan Piala Asia pun cukup menggembirakan yakni pada tahun 1971 di Bangkok, untuk perebutan ke final 1972.
Bahkan prestasi Ris dan kawan-kawannya ketika itu dianggap terbaik, hingga sekarang, khususnya untuk Piala Asia. Walau mereka gagal maju ke final, tapi urutan ke-3 dari 7 peserta tidak pernah lagi terulang. Kegagalan memasuki final memang menyakitkan. Keunggulan 1-0 atas Kamboja yang sangat menentukan justru bisa disamakan lawan 1-1 pada menit-menit terakhir.
Pada masa jayanya, Risdianto terkenal sebagai pemain subur gol. Dalam musim kompetisi Galatama di saat awal pembentukannya, andalan klub Warna Agung ini, selalu menciptakan gol. Tidak heran kalau ia beberapa kali menjadi top scorer, yakni dalam musim kompetisi 1979-80 dan 1980-81, walau sebenarnya saat itu, dalam usia 30 tahun, ia akan mundur dari percaturan, tergeser oleh para pendatang baru.
Beberapa kali ia memperkuat tim PSSI, tidak lagi diingatnya secara pasti, kecuali tahunnya. Pertama kali membela panji nasional tatkala berusia 20 tahun, tepatnya tahun 1970. Waktu itu PSSI berhadapan dengan Olario, tamu kuat dari Brasil yang berakhir 2-1 untuk PSSI dengan satu gol hasil tembakannya.
Sebelas tahun merperkuat tim nasional bukan waktu singkat. Banyak asam garam yang telah dicicipinya di sana. Mulai dari yang paling asam sampai ke yang paling manis. Senyum puas atau cibiran masyarakat pecinta bola tak asing lagi baginya.
Dalam usia 32 tahun, kedua belah kakinya masih mampu berkelit mengimbangi gerakan eksplosif pemain muda. Namun apa daya, usia tidak dapat dibohongi. Pria berkulit hitam yang semakin legam oleh terpaan matahari ini akhirnya menarik diri dari kegiatan kompetisi Galatama 1982.
Saat ini ia menjadi pelatih FC Menteng, klub amatir yang bermarkas di stadion Persija. Apakah pria kelahiran Pasuruan 3 Januari 1950 itu akan sepenuhnya menjadi pelatih? Ia sendiri belum bisa menjawab pasti. "Bagaimana, ya? Soalnya, pikiran saya masih ragu," ungkapnya.
Menurutnya, bos Warna Agung Benny Mulyono, tempat dia bergabung selama kurang lebih 5 tahun, pernah menawarkan akan mengirimkannya ke kursus pelatih di Inggris bersama rekannya yang juga sudah pensiun, Salmon Nasutian, kini asisten pelatih tim Pra Piala Dunia. Tapi semua itu ditolak. "Mungkin nanti, atau entah kapan...!" katanya.
Masih Labil
Ayah dua putri dari istri Noviati Suminta ini pada masa giatnya sebagai pemain telah mereguk kehidupan di tiga klub besar. Karirnya setelah meninggalkan Pasuruan dimulai di klub paling terkenal pada masa jayanya, Pardedeter (1969). Dan sana ia pindah ke UMS Jakarta dan kemudian ke Warna Agung sebagai persinggahan terakhir.
"Sulit untuk memberikan tanggapan," demikian pengakuan polos Risdianto ketika diminta pendapatnya mengenai peluang PSSI Garuda untuk bisa lolos ke putaran final Piala Asia. Keengganan memberikan pendapat itu, katanya didasarkan kurang seringnya ia menyaksikan latihan maupun pertandingan tim harapan PSSI itu.
"Kita beruntung punya tim seperti sekarang ini. Sebab, mereka tampaknya bersemangat dan berani. Hanya saja, pemain masih tampak kurang pengalaman," katanya.
Selanjutnya ia menilai, beberapa'pemain seperti kiper Hermansyah masih tampak labil. Meski penampilan kiper andalan ini seperti dilihatnya lewat televisi pada pertandingan final Piala Raja di Bangkok sangat cemerlang, namun ketika bertanding melawan Lech Poznan di Stadion Utama Senayan, gerakannya justru lamban dan kurang cepat. Ini hanya soal kurang pengalaman bertanding," kata bekas pemain terbaik pada masa jayanya ini.
Berbeda dengan pembentukan tim nasional tahun 1971, demikian Risdianto. Dulu tim ke Piala Asia yang ditangani almarhum Djamiat Dalhar justru dibentuk dari tim kelas dua. Ini disebabkan kelas utama dikirimkan ke turnamen Piala Presiden di Seoul.
"Latihan bersama tidak terlalu lama. Tapi karena umumnya tim terdiri dari pemain sudah jadi, maka kita cepat bisa saling mengerti. Ini berbeda dari yang ada sekarang, yang umumnya terdiri dari pemain masih baru," tandasnya.
Disebutkan, di antara pemain Garuda ada juga yang menonjol, di antaranya pendatang baru Noah Meriem. Sedangkan yang lain hanya punya semangat yang memang - dibutuhkan. "Umumnya pemain muda ini masih kurang sempurna dalam penguasaan teknik," katanya.
Menanggapi permainan Marzuki sebagai pemain andalan di belakang, Risdianto menyebutkannya sebagai cukup lumayan dan sangat berani. "Akan lebih baik lagi bila permainan keras Marzuki tanpa diikuti emosi!" ungkapnya.
Diingatkannya pula faktor tuan rumah, katanya, sangat menguntungkan. Tapi perlu diperhatikan penonton kita cukup fair. "Jadi, bisa saja nanti hal ini justru menjatuhkan mental pemain kalau pemain kurang ngotot. Dan menurut pengalaman saya, penonton di Senayan sebenarnya tidak terlalu menuntut kemenangan. Penonton cukup mengerti biarpun kalah, kalau kita sudah berjuang keras, penonton senang. Tapi kalau sampai kita malas mengejar bola, bisa berabe."
Penonton di Senayan akhir-akhir ini, kata Risdianto selanjutnya, memang sudah mulai mau menerima kehadiran Garuda secara baik. "Nah, manfaatkan ini untuk memompa semangat anak-anak muda agar terus berjuang,"pesannya.
(Penulis: Ian Situmorang, Tabloid BOLA edisi no. 23, Jumat 3 Agustus 1984)
Editor | : | Caesar Sardi |
Komentar