"Yogya datang untuk menang". Demikian bunyi salah satu spanduk di Gelanggang Remaja Bulungan, Jakarta Selatan, Senin lalu.
Wah, sombong kali? Begitu mungkin orang Jakarta akan berkomentar. Tapi memang demikianlah kesannya. Para pendukung tim kota gudeg yang selama ini dikenal kalem, pada malam final kejuaraan nasional voli yunior melawan tim tuan rumah DKI itu, jadi tampak ganas. Dibantu penonton lain yang hanya memang tak suka kalau DKI juara lagi, terciptalah teriakan-teriakan satu nada: membakar semangat tim Yogya, dan sebaliknya mengejek tim lawannya.
Boleh dibilang, mulut usil penonton lebih tajam dari smes-smes yang dilancarkan para pemain Yogya sendiri. "Penonton memang sadis," komentar penonton lain yang mendukung tim tuan rumah maupun yang bersikap netral.
Dan para pemain DKI, meski sebenarnya sudah berpengalaman banyak sebagai atlet maupun penonton untuk perkara seperti ini, ternyata jadi grogi juga. Ini terbukti, setelah unggul 15-9 di set pertama, Iman Agus Faisal dan kawan-kawannya seperti kehilangan pegangan.
Maka tim Yogya yang dikapteni Harjuno HP, seperti tak mengalami kesulitan untuk ganti merebut set kedua dengan angka telak 15-3. Bahkan di set berikutnya unggul lagi, 15-8. DKI kemudian bisa bangkit untuk merebut set keempat, tapi rupanya itu hanya penundaan kekalahan. Di set penentuan, dan dicekam sorak sorai penonton yang lebih seru menjagoi tim tamu, Hardjuno cs menggulung para remaja Jakarta 15-10.
Menurut pelatih DKI Handi Burhanuddin, para pemain asuhannya memang sempat grogi akibat teriakan-teriakan penonton, meski bisa bangkit lagi. "Sayang semangat itu tidak didukung dengan stamina yang cukup, hingga tetap sia-sia," katanya. Dari segi kemampuan teknis sendiri, menurut Handi, kedua tim seimbang. "Hanya saja Yogya memang agak lebih taktis," tambahnya.
Drs Soeharno HP, ayah kapten Yogya itu yang sekaligus jadi pelatihnya, merasa yakin sejak sebelum pertandingan dimulai bahwa timnya akan mencetak kemenangan. "Taktik kami, memporak-porandakan serangan lawan. Dan dukungan penonton memang menguntungkan kami," tuturnya pada BOLA.
Soeharno sendiri tak kalah semangat dengan para penonton. Ia juga sering berteriak-teriak memberi instruksi kepada pemainnya dari pinggir lapangan, hingga tak ampun lagi kartu kuning pun dilayangkan wasit kepada pelatih temperamental dari kota gudeg ini.
Rupanya Soeharno memang ingin anak-anak asuhannya bermain galak seperti dirinya. Tapi bagaimana kalau dasarnya ingin serba aman dan damai. "Sudah kulturnya begitu, maunya alon-alon asal kelakon, ya susah mau disuruh beringas," katanya.
Tapi ada untungnya, kata Soeharno lagi. Para pemain Yogya itu kebetulan berasal dari satu perkumpulan, yakni YUSO yang juga di bawah pimpinannya. "Jadi mereka sudah terbiasa bermain bersama-sama, hingga tak sulit mengaturnya meski persiapan kami hanya satu bulan."
Ini merupakan sukses pertama bagi Yogya, sudah tentu dengan catatan bergaris tebal karena sebelumnya mereka kurang diperhitungkan. Kini, dengan piala bergilir Presiden Soeharto di tangan mereka, tentulah masyarakat voli Yogya akan semakin rajin dan bersemangat mengubah peta kekuatan yang selama ini dikuasai DKI, Jabar, dan Jateng.
Tapi di bagian putri, tim DKI tak mengalami kesulitan untuk mempertahankan gelar keempat kalinya. Meski sempat gawat ketika melawan Jatim di semifinal, Nunung, Asdini, Tina, Lina dan kawan-kawannya tak mengalami kesulitan berarti untuk melindas Jabar di final dengan 15-9, 15-4, 15-6.
Dalam perebutan tempat ketiga, Jatim menyisihkan Jateng dengan tiga set. Di bagian putra Jateng yang pernah hebat itu pun disikat Jabar, juga dengan 3-0, hingga terpaksa pulang tanpa piala.
Dari ketua pertandingan Tahir Ali, sementara itu diperoleh keterangan. kejurnas ini sekaligus merupakan seleksi pembentukan tim nasional yunior (20 tahun ke bawah) ke kejuaraan Asia Yunior putra di Arab Saudi, Oktober mendatang, dan kejuaraan ASEAN putra-putri di Manila, Desember. "Sebelum itu, Agustus ini tim yunior akan bertanding di Taipei," tambahnya.
Kejurnas yang memakan biaya Rp 17 juta itu antara lain sumbangan dari PT Warna Agung yang juga menampung sejumlah pemain voli nasional, ditutup oleh Ketua Umum PB PBVSI Anton Soedjarwo. Hadir juga Tjuk Sugiarto, tokoh voli lainnya yang bertindak sebagai Direktur Keolahragaan Depdikbud.
(Penulis: Linda Wahyudi, Tabloid BOLA, edisi no. 23, Jumat 3 Agustus 1984)
Editor | : | Caesar Sardi |
Komentar