Salah satu anggota Save Our Soccer (SOS), Apung Widadi menilai bahwa permasalahan di sepak bola tidak hanya menyoal digelar tidaknya Kongres pada 17 Maret 2013. Menurutnya, ada masalah lain yang tidak kalah penting dari penyelenggaraan kongres, yakni mengenai match fixing.
"Pengaturan skor adalah musuh sepak bola. Dan, hal itu merupakan salah satu musuh yang disebutkan FIFA selain rasisme," kata Apung dalam jumpa pers di kawasan SCBD, Jakarta, Selasa (12/3).
Berdasarkan data yang dimiliki, Apung menilai bahwa Indonesia merupakan ladang dari pengaturan skor. Permasalahan itu akan tetap ada meski PSSI telah menggelar kongres sebagai jalan untuk menghindarkan Indonesia dari sanksi.
"Kalau dilihat sejarah, pengaturan skor sudah lama terjadi. Sejak era Perserikatan, Galatama, bahkan sampai sekarang," jelas pria yang juga Peneliti Divisi Korupsi Politik ICW.
Apung berharap permasalahan itu bisa ditindaklanjuti. Peran pemerintah dalam hal ini Kementerian Pemuda dan Olah Raga juga disebutnya penting untuk ambil bagian, paling tidak sebagai fasilitator PSSI dengan pihak kepolisian.
"Saya pikir dua liga yang ada saat ini belum steril. Jadi, perlu kerja lebih lagi untuk melakukan investigasi. Sampai saat ini, saya melihat belum ada investigasi secara mendalam."
"Menpora harus berperan serta, paling tidak sebagai fasilitator karena ini bukan hanya soal sepak bola saja, tapi sportifitas."
"Jadi, peran itu harus dilakukan Menpora. Konflik tak akan selesai meski ada kongres. Bagi kami, dasar konflik itu adalah priuk nasi, artinya ada uang yang diperebutkan."
"Selain tiga agenda yang disebutkan, kongres bagus jika turut membahas mengenai pengaturan skor. Pengaturan skor sendiri merupakan isu besar bahkan global," sambung Apung.
Sementara itu, anggota tim investigasi kawasan Asia Tenggara Sports Data Group, Michael Pride, membenarkan bahwa peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk mendorong adanya investigasi mengenai match fixing.
Editor | : | Frengky Aruan |
Komentar