Benua Amerika bukan pertama kali ini diinjak Purnomo Muhammad Yudi. Tahun lalu, pemuda kelahiran Ajibarang Purwokerto ini, bersama Kardiono, rekannya lebih muda asal Sragen, bertarung dalam Universiade di Toronto, Kanada. Karena itu mengunjungi Hollywood ataupun Disneyland bukanlah impiannya. "Saya ingin memberikan yang terbaik dari Olimpiade kepada PB PASI," katanya sebelum meninggalkan Jakarta menuju Los Angeles untuk pesta olahraga dunia ini.
Purnomo, 24 tahun, memang masih akan tampil lagi. Kali ini bersama Kardiono, Ernawan Witarsa, dan Christian Nenepath untuk nomor estafet 4 X 100 meter. Tapi kita tahu, tak banyak yang bisa diharapkan dari sana menghadapi saingan-saingan yang begitu kuat - sementara kekuatan kuartet kita sendiri tidak merata.
Dan Purnomo sendiri sudah meraih impiannya. Ia memang tidak berjanji akan membawa pulang medali Olimpiade. Tapi prestasi yang dicatatnya dalam dua nomor spesialisasinya, sprint 100 dan 200 meter, sudah merupakan harga yang pantas untuk dunia atletik kita.
Dalam nomor 100 meter, Purnomo menempatkan dirinya bagai pelari Indonesia (bahkan Asia) pertama yang mampu masuk semifinal Olimpiade - dengan catatan waktu yang cukup mengesankan untuk ukuran dengan komputer. Yaitu pertama dengan 10,40 detik di babak penyisihan yang berarti 0,01 detik lebih lambat dari rekor nasional atas namanya sendiri; kedua dengan 10,43 detik di perempatfinal; dan ketiga dengan 10,51 detik di semifinal.
Yang lebih penting, perjuangan keras Purnomo dalam tiga pertarungan itu telah menempatkannya dalam urutan ke-11 Olimpiade. Bukan itu saja. Catatan waktunya ternyata masih lebih baik dibanding Allan Wells, juara Olimpiade untuk nomor itu empat tahun lalu di Moskow. Wells, dari Inggris, hanya mencatat 10,71 detik untuk menjadi juru kunci dalam semifinal yang diikuti 16 peserta dalam dua seri.
Dalam nomor 200 meter, prestasi Purnomo kembali melegakan. Berada di urutan ke-17 dan gagal maju ke semifinal, tapi catatan waktunya ternyata merupakan rekor nasional baru: 20,93 detik. Rekornas atas namanya sendiri adalah 21,20 detik, diciptakannya tahun lalu dengan menyapu rekor lama atas nama Jeffrey Matahelemual. Pendahulunya ini juga dikalahkannya ketika Purnomo membuka debut di Bandung, dua tahun lalu.
Tentu saja keberhasilan Purnomo menguak sejarah baru di Los Angeles bukan tanpa persiapan matang. "Dalam enam bulan terakhir saya mempersiapkan diri secara penuh," katanya. Dalam persiapan itu, yang dimulai tak lama setelah ia kembali dari Universiade di Toronto dan kejuaraan dunia di Helsinki, perhatian dan dukungan PB PASI serta KONI Pusat diakuinya sangat besar. "Karena itu saya bertanggung jawab atas segala fasilitas yang saya terima," katanya.
Kini nyatalah, persiapan yang matang, tekadnya yang membara untuk "memberikan yang terbaik", dan tanggung jawabnya terhadap semua fasilitas yang diterimanya, telah dikembalikannya dengan penampilan mengesankan dalam dua nomor yang telah diikutinya.
Hasil ini sudah pasti akan merupakan dorongan lebih kuat bagi Purnomo sendiri untuk menjadi pelari yang lebih besar di masa mendatang. Sudah bisa mengalahkan, Allan Wells misalnya, apalagi cuma Sumeth Promna dari Muangthai atau pelari-pelari Asia lainnya, sudah tentu merupakan modal amat berharga bagi pemuda desa yang lugu ini untuk menanjak lebih tinggi.
Dari sini juga bisa ditarik kesimpulan, negeri ini ternyata menyediakan bakat yang cukup untuk nomor sprint yang pernah ditakutkan telah menjadi monopoli Muangthai dengan generasi Anat Ratanapol dan Suchart Jaesuraparp-nya. Orang seperti lupa, di awal 1960-an, pada zaman Asian Games IV dan Ganefo, kita sudah punya pelari-pelari kuat seperti Mohamad Sarengat dan Bambang Wahyudi yang kini jadi pelatih dan pembimbing Purnomo.
(Penulis: Sumohadi Marsis, Tabloid BOLA edisi no. 24, Jumat 10 Agustus 1984)
Editor | : | Caesar Sardi |
Komentar