Kini sikapnya berubah. Tingkahnya tidak lagi bengal, brangasan, dan congkak. Sekarang ia menjadi petinju yang ramah, meski tetap jantan dan perkasa. "Saya ini hanya benda yang dilakonkan Tuhan," ujarnya seusai mempertahankan gelar melawan Kai Siong di Gelanggang Olahraga Pulosari Malang, 8 Juli lalu.
Thomas Americo (24 tahun), juara kelas welter ringan Indonesia ini, memang bersuratan nasib penuh gejolak. Prestasinya mencuat pesat Awal tahun 1980 ia merebut sabuk juara kelas welter ringan Indonesia dari tangan Wongsosuseno. Masih tahun itu, ia merampas pula sabuk juara OPBF dari Sang Moo Ko (Korsel) di Surabaya dengan KO. Setahun kemudian, 29 Agustus, mendapat kesempatan menjajal juara dunia versi WBC, Saoul Mamby (AS).
Prestasinya yang terus melonjak itu mengagumkan masyarakat. Di mana-mana ia disanjung. Bocah-bocah pun main jotosan, mengidentifikasikan dirinya dengan si "Muhammad Ali dari Indonesia" ini. Gambarnya terpajang di sembarang tempat. Dari reklame obat kuat, kaos oblong sampai gambar tempel sepeda pascal. Pokoknya, petinju dari sasana Gajayana Malang ini telah menjadi idola para remaja.
Mungkin, lantaran sanjungan dan pujian yang kelewat mengambul itu membuat Americo yang dipanggil Jimmy ini lupa daratan. "Terus terang, waktu itu saya boleh dibilang bengal, brangasan, congkak. Saya keburu merasa paling besar, paling jutawan. Seluruh keluarga, dari yang baya sampai yang bocah saya suruh panggil diri saya sang Americo Jutawan. Saya kelewat gampang marah kendati hanya karena sindiran kecil. Pernah pula tustel wartawan mau saya injak," ujarnya polos.
Tanpa Rem
Kini ia menginsyafi, sikap demikian itu berkembang karena tiadanya pijakan mental yang kokoh. Pendidikan pun hanya beberapa tahun ia kecap, sehingga yang terjadi adalah "lepas-ngeblas" tanpa rem. "Bayangkan, mas, saya ini anak petani gurem. Uang ribuan hampir tak pernah saya lihat. Makan sehari-hari sekedar terisi. Tiba-tiba belepot duit, dijadikan anak angkat seorang walikota (Walikota Malang Soegiyono, sekarang Wagub Irja). Rasanya, dunia ini saya yang punya, apa saja - harta, jasa, kuasa, perkasa," demikian pengakuan petinju berkulit gelap, berambut kriting dengan bobot badan 63,3 kg ini.
Keinsyafan Americo mungkin saja punya kaitan dengan umumya yang semakin menua. Apalagi, tujuh bulan lagi ia akan dipanggil ayah oleh anak pertamanya. Tetapi, mungkin juga "nestapa" telah merubah seluruh pribadinya sejak gagal merebut sabuk juara dunia versi WBC dari Saoul Mamby di Jakarta 29 Agustus 1981. Apalagi kemudian gagal pula mengambil sabuk OPBF.
Prestasi yang anjlok itu barulah sedikit terobati ketika ia berhasil merebut kembali sabuk welter ringan Indonesia dari Emiel Mailisa (Taman Tirta Surabaya) di GOR Pulosari Malang 24 Juli 1983.
Meskipun demikian, keberhasilannya merebut kembali gelar welter ringan Indonesia itu tak mengubah pandangan masyarakat yang terlanjur tak suka kepadanya. Misalnya, ketika ia melawan si "Badak" Petchayam Petchsarera (Muangthai), masyarakat mencemoohnya. Sialnya, dalam pertandingan ini Americo kalah pula. Bukan itu saja, kebencian masyarakat semakin tersulut ketika ia diisyukan memukul tukang becak hingga cacat dan menghajar bekas pembantu istrinya hingga babak belur.
Americo tentu saja gregetan mendengar isyu itu. "Namun, berkat kata-kata manis istrinya yang berusaha mendinginkan, tertahanlah nafsu amarahnya. "Semula, rasanya saya kepingin menghajar sumber isyu itu. Tapi saya pikir, tindakan itu akan memperkeruh suasana. Yang penting, saya mawas diri dan segalanya saya serahkan kepada Tuhan," ujarnya sendu.
Soal Minum
Perubahan sikapnya yang lain di antaranya Americo kini tak banyak berkoar seperti dulu. Setiap pertanyaan tentang pertandingannya, sekarang selalu ia jawab dengan ucapan "akan berusaha bermain sebaik mungkin dan mudah-mudahan menang". Ia, katanya, selalu ingat, Tuhan yang menentukan segalanya.
Americo juga memberikan alasan, mengapa selama ini ia tak mau duduk dan minum dalam setiap pertandingan yang dinilai masyarakat sebagai kesombongun. "Sikap ini bukan congkak atau sok, mas. Kalau saya minum, perut saya jadi sakit dan terasa kejang. Kalau duduk, tenaga terasa melorot dan menghilangkan gairah bertanding. Ini pembawaan hidup," belanya.
Americo kini bicara pelan. Ia nampak telah dewasa. Telah jadi seorang suami yang harus bertanggung jawab atas kelestarian dan kesejahteraan rumah tangganya. Ia harus siap dipanggil ayah.
Kini ia coba bertani. Kebun di belakang rumahnya yang agak luas ia tanami singkong dan jagung kesukaannya. "Setelah menanam singkong dan jagung, rasanya saya seperti mengalami lagi masa kecil di Timor Timur," tuturnya.
Ia dengan jujur mengaku, akhir-akhir ini agak jarang berlatih di sasana. Itu mungkin sebabnya dalam pertandingan terakhirnya melawan Kai Siong (Inra Surabaya), ia hanya menang angka. Tetapi ternyata di sini foot work-nya nampak mulai pulih, double covernya masih serapat dulu, sehingga membuat jengkel Kai Siong.
"Meskipun begitu, saya belum puas. Memang kelihatan mulai pulih, tapi jab-jab yang dulu ampuh itu, kini rasanya mentah," cetus Manajer Gajayana, Drs Harsono Puspoasmoro. Americo, katanya, terlalu banyak menggunakan hook dan uppercut, sehingga wajar kalau ada yang berteriak, gayanya tak seperti si mulut besar Ali, tapi mirip Thomas Hearns.
Kini sebuah pertanyaan menggelitik. Seandainya tak ada lagi di tanah air ini yang melawan Americo, bakal ke mana dia? Manajer Gajayana yang juga Sekwilda Kotamadya Malang itu menjanjikan akan mengusahakan, agar Americo merebut kembali sabuk OPBF.
"Asal prestasinya benar-benar pulih," katanya. Bahkan, kalau prestasinya seperti ketika melawan Saoul Mamby dulu, Harsono berani membawanya ke perebutan gelar tinju dunia.
Americo sendiri rupanya sudah siap pula untuk mengambil kembali sabuk OPBF dari tangan Eng Sik Kim (Korsel). "Tinggal menunggu perintah manajer," katanya. Dan, kemungkinan merebut kembali sabuk OPBF cukup besar. "Asal Americo berlatih dalam suasana baru," kata tokoh tinju Malang, Tjipto Murti.
(Penulis: Anwar Hudijono, Tabloid BOLA edisi no. 26, Jumat 24 Agustus 1984)
Editor | : | Caesar Sardi |
Komentar