Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

"Yang Paling Mengerikan Bukan Perang..."

By Caesar Sardi - Jumat, 15 Maret 2013 | 16:00 WIB
Ali Dousti (kostum putih).
Dok. Tabloid BOLA
Ali Dousti (kostum putih).

Ketika negeri Iran dilanda perang saudara, Hamid Ali Dousti yang saat itu sudah menjadi ujung tombak tim nasional, terpaksa berhenti menyepakbola. Bersama puluhan ribu rakyat lainnya yang ikut dalam gelombang ledakan itu, Ali Dousti juga memanggul senjata.

Sampai negeri benar-benar aman, artinya hingga Syah Iran tumbang dan Khomeini naik, barulah Dousti kembali menyepakbola. Tetapi tim nasional belum lagi terbentuk. Ia hanya mengikuti latihan-latihan ringan di klubnya, Homa, yang saat ini merupakan klub nomor dua di Iran.

Menurut Ali Dousti (28), ia bergabung untuk memanggul senjata tidak kurang empat tahun. "Pokoknya dari mulai keadaan rawan sampai benar-benar selesai," kata Dousti. Ia menambahkan, saat seperti itu paling mengerikan.

"Bukan karena harus memanggul senjata untuk saling menembak, tetapi karena pada saat itu tidak ada kegiatan sepakbola. Konsentrasi seluruhnya dicurahkan untuk berperang," tuturnya.

Padahal sepakbola yang mulai dicintainya sejak usia 14 tahun itu, benar-benar sudah merupakan bagian dari hidupnya. Namun ia bersyukur mampu terpilih kembali menjadi pemain nasional Iran yang memang secara resmi digelutinya selama enam tahun.

Untuk babak penyisihan Piala Asia Grup I di Jakarta minggu lalu, Ali Dousti tak kalah saing dari rekannya, Nasser Mohammad Khani yang melejit menjadi pencetak gol terbanyak. Selisih gol keduanya hanya terpaut satu. Kalau Nasser mencetak 8, Ali Dousti tujuh.

Gaya permainan keduanya juga tidak jauh berbeda. Meskipun secara serius Nasser menganggap Ali Dousti jauh lebih hebat dari dirinya, tetapi secara keseluruhan kemiripan membaur di antara mereka. Lincah dan efesien dalam bergerak. Sama-sama memiliki naluri hingga untuk mencetak gol. Satu segi yang masih belum dimiliki banyak pemain kita, biarpun yang di tim nasional.

Prospek Cerah

Bagi Ali Dousti kesebelasan nasional Indonesia yang dalam hal ini diwakili PSSI Garuda, memiliki prospek yang cukup cerah. "Saya bukan guru atau pelatih, tetapi menurut saya untuk membina tim yang bagus memang dibutuhkan banyak hal. Kesabaran dan keuangan adalah faktor mutlak selain bakat dan mutu pelatih," katanya hati-hati.

Dari beberapa kali melihat penampilan Garuda, Dousti mengatakan tim itu tidak memiliki seorang komandan yang mampu mengatur strategi di atas lapangan. Usia dan kemampuan yang relatif sama, membuat sulitnya koordinasi di antara para pemain.

Ia membandingkan dengan timnya. "Jangan lihat secara keseluruhan," katanya. "Tapi lihatlah semua pemain kami bisa mengerti dan mau taat pada Mohammad Panj Ali Ghomi yang diberi tugas menjadi kapten. Apa yang diinstruksikannya, seluruh pemain bisa memahami dan bersedia menjalaninya," tutur Ali Dousti.

Faktor usia bukan masalah untuk menjadi pimpinan. Usia Ali Ghomi tidak terbilang paling tua, tetapi kewibawaan itu melekat di dadanya. "Selain itu, sang pimpinan juga harus mampu membuat keputusan berdasarkan kemampuannya. Kami melihat baik secara teknis maupun nonteknis, dia mampu memimpin kami," Ali Dousti menegaskan.

Inilah mungkin kekurangan paling menonjol dari Garuda. Sehingga menurut Ali Dousti, anak-anak itu bermain seolah tanpa kendali. "Kalau terlalu asyik main, kita lupa dengan tujuan pokok untuk menang," sambung gelandang penyerang Iran ini.

Kelemahan lain yang paling berkesan baginya, Garuda sama sekali tidak memiliki pemain yang haus akan gol. "Mereka selalu takut untuk menembakkan bola, meski jarak itu sudah mereka jangkau. Akibatnya bukan hanya gol yang hilang, tetapi ritme permainan juga menjadi kacau."

Tidak Mau

Dalam kesempatan lain Ali Dousti menolak dengan tegas ketika ditanya apakah ia berhasrat untuk hijrah ke Eropa. "Saya cinta Iran. Saya tidak mau main untuk negeri orang. Saya akan berikan seluruh jiwa raga saya hanya untuk kejayaan Iran," katanya.

Tanpa itu, kemungkinan Ali Dousti hijrah ke Eropa juga memang tak dikehendakinya. Ia memberi alasan karena sudah berkeluarga dan mempunyai anak. "Saya kawin tiga tahun lalu dengan gadis Nadereh, orang Teheran. Tahun lalu lahir anak pertama saya. Laki-laki, saya beri nama Taraneh. Tega hati saya jika harus meninggalkan mereka? Tentu tidak. Bagi anda sendiri bagaimana?" ujar Ali Dousti pada BOLA.

Karyawan perusahaan Iran Tyre ini menjelaskan, kompetisi di negerinya berjalan cukup bagus. "Kami, seluruh pemain, terbina
oleh klub masing-masing. Di tim nasional, tinggallah pelatih Yavary memolesnya," kata pengagum Rummenigge ini.

Kesannya tentang Indonesia, tidak jauh berbeda dengan Nasser, ia amat menyukai Indonesia yang aman, damai, dan indah alamnya. Beruntunglah Anda dilahirkan dan menjadi bangsa Indonesia. Seandainya negeri kami seindah dan sedamai di sini, mungkin kami sudah bisa lebih berbicara dan menjadi juara dunia," tukas Ali Dousti sambil melepaskan tawa panjang.

"Jika Tuhan Allah mengizinkan, saya sangat bersuka cita seandainya bisa kembali ke Indonesia," katanya penuh harap. Paling tidak, Desember mendatang ia akan kembali ke Singapura. Sebab Iran, bersama Syria, sama-sama merebut tiket Grup I di Jakarta ini ke putaran final Piala Asia di Singapura, akhir tahun ini.

(Penulis: Mahfudin Nigara, Tabloid BOLA edisi no. 26, Jumat 24 Agustus 1984)


Editor : Caesar Sardi


Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

YANG LAINNYA

SELANJUTNYA INDEX BERITA

Close Ads X