Jarum jam belum menunjuk pukul 7.00 pagi. Tetapi di sebuah rumah tua berhalaman luas di bilangan Kampung Ngadisuman, Solo, hari Minggu lalu telah hadir puluhan anak usia sekolah yang seolah menunggu sesuatu.
Benar juga. Beberapa menit kemudian, dari dalam muncul seseorang berbadan tegap mengenakan celana olahraga warna hitam bergaris merah dikombinasikan kaos pendek lusuh. Diawali basa-basi ala kadarnya, orang tua yang dikenal dengan nama Siswanto Soerjopoetro (72) itu langsung membuka suasana. "Kali ini tetap latihan rutin. Lima belas menit pertama, khusus untuk passing".
Siswanto, dikenal di kota ini sebagai "guru sepakbola". Anak-anak usia sekolah yang Minggu pagi itu berkumpul di rumahnya, adalah anak didiknya. Mereka bergabung dibawah nama "Adidas", singkatan "Anak didik dari Solo" yang sering pula dikonotasikan "Anak didik dari Siswanto".
Seusai intruksi singkat, anak-anak Adidas bergegas mengenakan sepatu. Mereka langsung menuju lapangan Manahan - sekitar 2 km dari Kampung Ngadisuman, tanpa disertai gurunya.
"Passing, teknik mengumpan, merupakan dasar permainan sepakbola. Pemain kita biasanya lemah dalam soal itu," kata Siswanto kepada BOLA setelah ditinggalkan anak didiknya. Tanpa mengubah nada bicara, ia lalu menguraikan program-program Adidas selama ini, diseling demontrasi keahlian menyuntikkan teori.
"Seorang pemain harus mengetahui dasar-dasar sepakbola. Bakat dan ketrampilan saja belum cukup untuk mengantarnya menjadi seorang pemain yang komplit," katanya seraya minta izin mengenakan kaos bergambar Proklamator, Bung Karno.
Didik dan Adityo
Sampai menjelang usia senja, orang tua yang pernah disegani di lapangan hijau ini masih setia mendidik anak usia sekolah tentang dasar-dasar bermain bola.
Kesetiaan yang terus membara hingga kini, telah menggugah pengurus PSSI. Karenanya, pada HUT ke-52 PSSI tanggal 19 April 1982, ia dianugerahi satya lencana, piagam penghargaan, dan medali emas atas prestasi tersebut. "Saya tak menyangka akan menerima penghargaan itu," ujar Siswanto merendah. Ia mengatakan kemudian, "merasa telah jauh dari PSSI".
Sederetan nama pop di lapangan hijau, pernah berguru kepadanya. Boleh disebut antara lain, kakak beradik, Didik Darmadi dan Adityo Darmadi, yang kini bermain untuk klub Galatama, Indonesia Muda. Juga sejumlah nama di kesebelasan Galasiswa, PSSI Junior, serta beberapa nama lagi yang kini memperkuat klub instansi, perusahaan, serta perserikatan.
Pendeknya, pemain bola asal Solo dan sekitarnya pasti pernah "mampir" di Adidas, setengah tahun, setahun, atau malah dua tahun.
Hanya Dasar
Didirikan 1972, menurut catatan, tak kurang dari 2.000 anak usia sekolah pernah berguru di Adidas. Mereka berasal dari Solo dan sekitarnya, termasuk dari Sragen, Klaten, Wonogiri, bahkan Purwodadi. "Dari sini terbukti kami telah memasukkan sepakbola ke desa guna memelekkan mereka yang buta sepakbola," tutur Siswanto.
Adidas tidak bertujuan mencetak pemain bola. Tetapi, semata-mata hanya memberi dasar-dasar sepakbola yang betul. "Urusan menjadikan seorang pemain, adalah tanggung jawab klub atau perserikatan. Tugas kami hanya menyampaikan dasar-dasar menendang atau menyundul yang betul, serta jenis ketrampilan lain yang dibutuhkan seorang calon pemain," tutur Siswanto lagi.
Meski begitu, sepanjang tahun, puluhan bahkan ratusan anak usia sekolah terus mengalir ke rumahnya untuk minta petunjuk, bagaimana cara menggiring bola, mengumpan, menyerobot, menembak, dan aneka cara lainnya.
Siswanto menularkan ilmunya secara gratis di sela serbuan rematik yang menggerogoti kedua kakinya.
Uni Soviet
Siswanto berkisah, ia berkenalan dengan PSSI sejak 1955, sewaktu dipasrahi menjadi manajer Pelatnas dalam rangkaian persiapan perlawatan ke Eropa dan Australia. Ia membantu Tony Poganik yang kala itu dipercaya menjadi pelatih. "Saya dan Tony sudah sejiwa. Tony urusan lapangan, saya urusan di asrama sekaligus menjadi penasihatnya," kenang Siswanto.
Berkat ketrampilan "mengolah" pemain, Siswanto terus dipercaya PSSI. Untuk itu pada 1956 ia ikut melawat bersama PSSI ke Uni Soviet, Cekoslowakia, Yugoslavia, dan Jerman Timur. Enam tahun berikutnya ia juga mengikuti perlawatan PSSI ke tiga negara: Uni Soviet, Bulgaria, dan Rumania. "Inilah kenangan paling mendalam, bisa mengenal beberapa negara tanpa keluar biaya," katanya sambil membetulkan letak peci. Siswanto, guru ribuan siswa, tentu saja pernah menjadi pemain, walau tak terlalu menonjol. Beberapa bond Belanda pernah ia masuki, di antaranya HBS (Surabaya) sekitar 1936, VIOS (Jakarta) tahun 1940, dan terakhir Setia (Solo).
Perjalanan sebagai pelatih cukup panjang. Karir inilah yang kemudian menghambatnya menjadi pegawai negeri yang baik. Tahun 1955, karena kesibukan di Pelatnas, ia mengundurkan diri sebagai abdi negara tanpa hak pensiun. Ia tak menggugat atau mempermasalahkan. "Dari rachmat Tuhan," jawabnya ketika ditanya nafkahnya mengingat ia menularkan ilmu secara prodeo. Kini ia hidup sendiri. Istri tercintanya telah mendahului dua belas tahun lalu, sementara dua anaknya kini berada di Jakarta.
Benci Uang
Selain tak dipungut biaya, seusai latihan siswa Adidas malah mendapat air teh dan penganan, atas usaha Siswanto. "Saya paling benci urusan dengan uang", katanya. Akibat inilah kehidupannya "melarat, tapi kaya teman".
Ia lalu mengaku, selama mengasuh Adidas sering nombok. "Tetapi tak apa," ujarnya pendek seraya menyebut nama seseorang yang berdiri di belakang layar. Konon seorang staf Ditjen Bea Cukai serta sebuah pabrik alat-alat olahraga di Solo.
"Saya paling benci kalau melihat pemain bola jajan es di pinggir lapangan". Sebagai konsekuensi kebencian inilah, ia lalu menyediakan minuman gratis di rumahnya, sebagai pelepas dahaga anak didik yang telah berlelah-lelah di lapangan setiap Minggu pagi dan sore setiap harinya.
Siswanto masih aktif memberi dasar-dasar sepakbola bagi anak didik yang setia datang ke rumahnya. Tetapi ia sudah jarang datang ke lapangan akibat rematik yang tak mau diajak kompromi. Di tempat tinggalnya, ia terus mengikuti perkembangan sepakbola lewat majalah atau buku terbitan luar negeri. Kesibukan ini ditingkah sekali-kali dengan melongok stadion Sriwedari, melihat kompetisi Galatama.
"Kesebelasan Garuda masih terlalu muda, sehingga kalah sama pemain-pamain yang berpengalaman", katanya mengomentari kesebelasan PSSI Garuda yang kehilangan tiket ke putaran final Piala Asia 84 di Singapura. Sewaktu Garuda bertemu Filipina di Solo, ia juga menyaksikan. "Perlu dikentalkan lagi," katanya masih tentang Garuda.
Sejak setahun lalu, tugasnya mendidik Adidas menjadi lebih enteng dengan kehadiran sebuah TV warna dan video, sumbangan bekas anak didiknya. Dengan peralatan mutakhir itu, ia membeberkan teori kepada sejumlah siswa menjelang berpraktek di lapangan.
"Kasetnya ya nyewa atau pinjam teman," kata Siswanto di sela 18 anak Adidas dari kelompok Garuda (usia 15 tahun ke bawah) dan anak-anak kelompok Rajawali (usia 16 tahun ke atas).
(Penulis: Djoko Pournomo, Tabloid BOLA edisi no. 27, Jumat 31 Agustus 1984)
Editor | : | Caesar Sardi |
Komentar