an yang rekornya sampai saat ini belum terpecahkan. Belum lepas dari lilitan persoalan tanah dan rumahnya di Gang Sauh Jl. Padang Bulan, Medan, yang katanya digusur sewenang-wenang, bekas atlet nasional ini dihadapkan pula pada persoalan baru: harus angkat kaki dari rumahnya di Lorong Puncung Pasar VI Tanjung Sari. Pemilik tanah tempatnya mendirikan rumah tujuh tahun lalu itu sudah berkali-kali mendesak, hingga tak bisa ditawar lagi. "Tak ada jalan lain, saya harus pindah. Tapi ke mana?" ujarnya tenggelam dalam pertanyaan.
Bertemu dengan BOLA Rabu pekan lalu, Ghurnam menuturkan, hidupnya lebih banyak dipeluk derita, tetapi katanya ia tetap berusaha menjadikan dirinya seorang Sikh yang tegar. "Saya tidak mau minta dibantu dan dikasihani. Yang saya inginkan hanya tegaknya kebenaran," tegasnya. Kebenaran apa? Tak lain mengenai tanah dan rumahnya di Gang Sauh.
Untuk itu bulan lalu ia berusaha menjumpai pejabat penting di Jakarta. Tapi niatnya tak kesampaian. walau Ghurnam sempat mengancam mogok makan. Kini persoalan itu dialihkan ke Bagian Sospol Pemda Sumut. "Saya sudah dipanggil, tapi penyelesaiannya tetap mengambang," keluhnya seperti putus asa.
Sambil ke mana-mana mengendarai sepeda warna biru, Ghurnam rupanya bukan hanya menggundahkan soal tanah dan rumah saja, tapi juga soal hadiah pemerintah pada zaman Presiden Soekarno dulu. Menurutnya, atas prestasinya di nomor lari jarak jauh, sedang, dan pendek ia dihadiahi tanah dan uang untuk usaha peternakan.
"Tapi, karena sibuk dan terlalu berkonsentrasi untuk mempertajam prestasi, urusan hadiah itu saya serahkan kepada seseorang," ceritanya menyebut seorang tokoh Sikh di Medan. "Tapi nyatanya orang yang saya percayai itu menipu," tambahnya.
Bakat Dagang
Ghurnam pun menyarankan, kalau ceritanya tak dipercaya, orang yang dimaksud dalam ceritanya itu boleh dihubungi. BOLA memang berusaha menghubungi. Tapi sampai tiga kali, tokoh Sikh yang dimaksud Ghurnam tak berhasil dijumpai. Tetapi mengenai cerita Ghurnam itu sendiri, banyak tokoh olahraga di Medan menyebutnya hanya isapan jempol.
Masyarakat sebenarnya mengetahui, Ghurnam memang sudah sering dibantu. Baik oleh KONI, pemerintah, dan swasta. Antara lain memborong perawatan Stadion Teladan Medan dan dipekerjakan di sebuah perusahaan pergudangan.
Di perusahaan pergudangan ini, Ghurnam sempat tercela. Ia didakwa terlibat pencurian, sehingga sempat mendekam di penjara dua bulan 13 hari. Mengenai ini Ghurnam pun berdalih, "Toke saya takut rahasianya terbongkar. Bersama kawan-kawannya mereka sering main judi," katanya. Yang dimaksud toke adalah pengusaha pergudangan tersebut.
Dalam pekerjaan-pekerjaan lain yang didapatnya atas bantuan beberapa pihak, Ghurnam mengaku pula terus-terang tak cocok. Sebab, katanya, bakatnya pedagang. Namun, entah sampai di mana kebenarannya, ketika berjumpa hari Rabu itu Ghurnam memang membawa tas. Isinya? "Bahan-bahan pakaian pesanan orang," kata bekas atlet itu seolah ingin menggambarkan betapa besar bakat dagangnya.
Tidak Normal
Prestasi Ghurnam Singh memang hebat. Dalam maraton ia mencatat waktu dua jam 27 menit 58,6 detik. Lari 10 km, 30 menit 47,2 detik, dan lima km, 14 menit 44 detik. Sampai sekarang, rekornya 22 tahun lalu ini, belum terpecahkan oleh atlet nasional manapun, sehingga dua tahun lalu Ghumam pernah bertekad mendirikan klub atletik yang mengkhususkan nomor lari. Tetapi bagaimana hasilnya? Ghurnam rupanya sudah lupa. "Oh ya..." ujarnya mengingat-ingat. "Rencana itu tetap ada. Tapi sayang belum ada sponsor. Terutama dari pihak klub saya dulu, Persati," kilahnya.
Itu mungkin sebabnya sepak-terjang Ghurnam dianggap banyak yang aneh. Terutama oleh orang Medan, sehingga masyarakat di sana tak begitu acuh lagi terhadapnya. Malah ada yang segera menyilangkan telunjuknya di kening bila diajak membicarakan Ghurnam. Maksudnya, tentu saja, menganggap pikiran Ghumam sudah kurang normal.
"Tapi semua itu tidak benar. Saya sudah diperiksa dokter ahli dan dinyatakan normal," tangkisnya. Benar tidaknya hal ini, barangkali tak terlalu penting untuk dipersoalkan. Yang jelas Ghurnam dan keluarganya kini menghadapi saat-saat hidup yang paling suram.
(Penulis: Syamin Pardede, Tabloid BOLA, edisi no. 27, Jumat 31 Agustus 1984)
Editor | : | Caesar Sardi |
Komentar