"Kita kurang persiapan," begitu kata P. Sumarsono, ketua bidang organisasi dan luar negeri PBSI mengenai kegagalan pemain kita dalam turnamen bulutangkis Piala Alba IV.
Dengan hanya merebut satu gelar dari lima nomor yang dipertandingkan, meski kita merenggut hadiah uang Rp 30 juta lebih dari seluruh Rp 118 juta yang disediakan, kita memang patut menyebut hasil penampilan Liem Swie King dan kawan-kawannya itu sebagai suatu kegagalan.
Malangnya, kegagalan itu lebih disebabkan karena kurangnya persiapan, seperti kata Sumarsono. Padahal turnamen yang merupakan salah satu acara terpenting bagi dunia bulutangkis prestasi itu diselenggarakan di kandang sendiri.
Tapi apa mau dikata. Di samping soal kurangnya persiapan itu, situasi dan kondisi sejumlah pemain yang diandalkan rupanya memang lagi tidak memungkinkan. Icuk Sugiarto misalnya, menilai dirinya kurang fit. Begitu pula Heryanto, pasangan ganda bersama Kartono yang dua kali jadi juara All England, sibuk dengan urusan pribadinya yang rupanya tak bisa dielakkan.
Akibatnya baik Icuk maupun Heryanto tak bisa tampil. Lius Pongoh yang menggantikan tempat Icuk tampil lumayan. Tapi toh ia terbentur ketika menghadapi Yang Yang yang kemudian juga menggulung Hastomo dan baru tersungkur ketika jumpa Han Jian di final.
Adapun King yang sejak semula memang diharapkan akan merebut gelar di tunggal putra - nomor yang dianggap paling hormat - tersungkur pula, masih di semifinal. Ia tak kuasa meladeni keuletan Han Jian yang sebelumnya sudah empat kali mengalahkannya dalam delapan pertarungan.
Maka, yah, untunglah ada Kartono yang mendampingi King untuk tampil sebagai juara ganda. Ini mengingatkan kita pada sukses merebut kembali Piala Thomas di Kuala Lumpur Mei lalu yang antara lain juga ditentukan pasangan ini - pasangan "mendadak" akibat mata Heryanto kecolok bola.
Kuala Lumpur boleh dikatakan memang kota kenangan yang penting dalam mengukur dan menimbang hasil kejuaraan yang di malam terakhir malah kurang dikunjungi penonton itu. Maklum, ini tak lain karena Cina sendiri, yang memonopoli turnamen ini dengan memboyong pulang tiga gelar dan hadiah uang Rp 40 juta lebih, memang mengincarnya sebagai medan pembalasan.
Konon mereka merasa terpukul keras akibat lepasnya Piala Thomas di Kuala Lumpur Mei lalu itu. Padahal di negeri tirai bambu itu sang piala baru sempat tinggal tak lebih dari dua tahun, yakni sejak mereka merebutnya dari kita di London, 1982.
Membalas kekalahan di kandang lawan sudah mereka coba dua bulan lalu dalam Indonesia Terbuka dengan antara lain menampilkan tak kurang juga dari Luan Jin, juara All England 83. Tapi ternyata gagal.
Maka kinilah saatnya dendam itu tersampaikan. Han Jian dan Yang Yang seperti tak punya tandingan untuk sektor tunggal. Di malam final, ketika publik kecewa karena tak satu pun pemain tuan rumah tampil di partai paling menarik itu. Kedua andalan Cina itu terbukti mampu mengobati kekesalan. Mereka menampilkan partai yang konon hanya bisa disaingi dengan pertarungan Han Jian melawan King dalam Asian Games IX di New Delhi, dua tahun lalu.
Di sektor ganda, kendati akhirnya takluk di tangan pasangan King-Kartono, Cina memang belum bisa membusungkan dada. Tapi kita perlu sekali mencatat pasangan Cina Tian Bingyi/Li Yongbo yang kalah itu sebagai kekuatan yang harus lebih diperhitungkan di masa mendatang.
Di bagian putri, memang, penampilan Li Lingwei cs ibarat ulangan suksesnya yang beruntun, selama bertahun-tahun. Setidaknya sejak srikandi-srikandi berdarah dingin itu tampil kembali ke permukaan dunia dengan hanya sesekali diganggu Korea Selatan yang juga merupakan kekuatan utama lainnya.
Khusus bagi Li Lingwei, kemenangannya di final juga merupakan pameran kekuatannya yang lebih di antara rekan-rekannya.
Apa yang harus kita katakan untuk pasangan ganda campuran Christian dan Ivanna Lie? Mereka akhirnya memang harus menyerah di final pada pasangan gado-gado Inggris/Swedia, Nora Perry/Thomas Kihlstroem, tapi salut tetap patut diacungkan.
Seperti Kartono yang berpasangan dengan Imelda Wigoena Kurniawan dan merebut perunggu, Christian membuktikan kelebihannya sebagai pemain ganda yang awet. Persoalannya hanyalah usia. Apakah Christian, Kartono, dan juga Imelda masih bisa bertahan, katakanlah sampai Asian Games X di Seoul, dua tahun mendatang.
Tapi Ivanna sendiri jelas tak boleh menjadi asyik dengan pasangan campurannya yang cukup berhasil itu. Sebab ia, dan lebih-lebih para pembinanya, harus maklum bahwa untuk sektor tunggal putri, kemampuan dan pengalaman Ivanna masih amat dibutuhkan.
Turnamen ini membuktikan lagi, kelas pemain sekaliber Ivanna dan Verawaty, belum didapatkan jika kita mau menerimanya dengan perasaan lega. Bahkan Mary Herlim yang semula diperkirakan akan bisa ikut dalam persaingan itu, kini ketahuan lebih punya kemampuan di sektor ganda.
Karena itu mau tak mau Ivanna harus lebih berkonsentrasi pada pembinaan kematangannya sebagai pemain tunggal, ini pun paling tidak sampai dua tahun mendatang di Asian Games Seoul maupun perebutan kembali Piala Uber.
Memang, kendati pun tenaga dan pikirannya tak terbagi dengan keharusan bermain tuntas dalam sektor tunggal dan ganda, Ivanna belum pasti bisa lebih mengimbangi putri-putri Cina di partai tunggalnya. Tapi kata beberapa pengamat, King mungkin akan lebih bisa tampil menggigit kalau saja pasangan gandanya dilepaskan.
"King sudah mulai tua. Tenaganya tak sekuat dulu lagi. Karena itu ia harus memilih," kata seorang pengamat. Celakanya, menurut hemat kita, King memang lebih meyakinkan, saat ini, di partai ganda. Yah, memang masalah yang cukup rumit. Padahal dua tahun, saat kita harus mempertahankan Piala Thomas dan menantang Asian Games, bukanlah masalah yang panjang.
(Penulis: Ian Situmorang, Tabloid BOLA edisi no.31, Jumat 28 September 1984)
Editor | : | Caesar Sardi |
Komentar