Dalam waktu satu atau dua tahun mendatang, seorang bintang muda berkulit hitam akan menguak dunia persepakbolaan nasional. Paling tidak itu merupakan perhitungan kasar banyak tokoh sepakbola tentang pemain Galasiswa yang satu ini.
Namanya persis seperti bintang tenor dalam dunia musik di Amerika, Frank Sinatra. Frank, begitu pemuda berkulit hitam yang murah senyum itu biasa dipanggil, saat ini bergabung dengan tim sepakbola pelajar Indonesia untuk bertarung dalam Kejuaraan Pelajar Asia di New Delhi, India akhir bulan ini.
Sebenarnya ia sudah meninggalkan kompleks Ragunan, setelah menyelesaikan sekolah lanjutan tingkat atasnya, jurusan IPS. Tetapi karena kegiatannya di tempat penampungannya yang baru di kota Solo, yakni tempat Gala Mahasiswa belum ada, maka Frank kembali dipinjam Ragunan untuk kepentingan di atas.
Namun demikian, sebenarnya pula nama Frank Sinatra sudah terlepas dari dua kegiatan tersebut. Mulai awal bulan lalu ia sudah ditarik pelatih Barbatana untuk memperkuat lini tengah PSSI Garuda. Tetapi resminya penggabungan Frank baru akan dimulai setelah pulang dari India.
Artinya Frank tidak akan ke Solo dan berpisah dengan rekan-rekannya dari kompleks Ragunan. Ia bersama rekannya yang sudah tercatat lebih dahulu, Noah Meriem, akan singgah di Singapura untuk memperkuat PSSI Garuda dalam turnamen tahunan Piala Merlion.
"Berat memang. Tapi demi prestasi dan negara, saya rela bergabung dengan Garuda," katanya pada BOLA.
Putera keempat dari enam bersaudara pasangan keluarga Martin Huwae (purnawirawan Peltu Polisi Banjarmasin) dan Costantia ini lahir sebagai anak dusun. "Saya lahir benar-benar di kota kecil," tukas Frank dengan tawa lebar yang menampilkan barisan gigi putihnya.
Dari kota Banjarmasin, desa kelahirannya berjarak sekitar 190 km. Kondisi jalan darat tidak terlalu bagus. Tepatnya di kota, kecil Amuntai. Frank dilahirkan 30 Maret 1965.
Ia mengawali karirnya sebagai pemain sepakbola di klub Persinus Banjarmasin, sekitar tahun 1979. "Baru tahun itulah saya bermain dengan sepatu bola," kenangnya.
Tetapi prestasinya yang cukup baik, membuat ia terpilih memasuki sekolah sepakbola di Ujungpandang tahun 1981. Setahun kemudian, ia pun terpilih dalam seleksi untuk dipindahkan ke Ragunan. Pak Omo Suratmo yang memilih saya dalam seleksi," tuturnya.
Menyadari bermain sepakbola tidak untuk selamanga, Frank bercita-cita meraih gelar sarjana hukum. "Saya suka pekerjaan itu. Kejujuran dan keberanian di tempat itu benar-benar akan diuji," kata pengagum Ronny Pattinasarani ini.
Gaya permainannya cukup indah. Meski tubuhnya kurus dan seperti tidak bertenaga, tetapi lewat kaki-kakinya itulah tim sepakbola Galasiswa menapak lebih maju. "Dia bermain cukup bagus sebagai pengatur serangan. Saya suka dia karena amat jeli dan tidak emosional," puji Barbatana lewat penterjemahnya dalam suatu kesempatan.
Frank sendiri mengaku amat anti pada pola dan gaya permainan keras. "Main sepakbola bukan hanya otot dan kekuatan, tetapi kita harus menggunakan pikiran," ucapnya polos.
(Penulis: Mahfudin Nigara, Tabloid BOLA edisi no. 31, Jumat 28 September 1984)
Editor | : | Caesar Sardi |
Komentar