tanya apakah Niki Lauda mampu memenangkan seri terakhir Grand Prix di Sirkuit Estoril, Portugal, 21 Oktober mendatang. Jika berhasil ia akan tampil sebagai juara dunia untuk ketiga kalinya. Tapi apapun yang terjadi, pembalap Austria itu telah menunjukkan kepada dunia, dialah yang terbesar semenjak kejuaraan balap mobil itu dimulai 34 tahun silam.
Karirnya luar biasa. Banyak atlet yang membuat comeback, dan berhasil. Tetapi tak ada yang lebih menggetarkan dibandingkan Lauda. Tahun 1976, setahun setelah untuk pertama kalinya merebut Grand Prix, mobilnya menerjang pagar sirkuit Nurburgring, Jerman Barat, dalam kecepatan 225 km per jam. Mental dari pagar itu, Ferrari yang dikendalikannya kemudian terhempas ke lintasan, dan terbakar.
Kecelakaan itu membuat wajahnya cacat tak keruan. Tapi semangatnya tidak padam. Tigapuluh delapan hari kemudian dia sudah menggelinding lagi untuk mempertahankan kejuaraan yang berada di tangannya. Lauda memang kalah. Namun kekalahan itu ditebusnya pada musim pertandingan tahun berikutnya. Barangkali inilah puncak tampilnya kembali seorang atlet dalam sejarah olahraga.
Sakramen
Sandai sekarang tak ada orang yang bisa menjelaskan secara pasti, apakah cengkeraman ban mobilnya yang hilang di lintasan yang basah, penyebab kecelakaan tersebut. Ataukah karena ban belakang sebelah kiri yang lepas setelah mobilnya melayang 2 lap di atas sirkuit. Yang pasti, Lauda amat menderita.
Ketika tiga orang pembalap menolongnya keluar dari cockpit yang sedang berkobar, mereka menemukan di kepalanya api yang sedang menari-nari. Tangannya hangus. Tulang selangkanya remuk. Sialnya lagi, peralatan pembantu yang dirancang untuk mengalirkan udara segar ke dalam helmnya, malah menyemprotkan gas beracun yang muncul dari bagian-bagian mobil sebelah dalam.
Lauda segera dilarikan ke rumah sakit darurat terdekat. Kemudian dipindahkan ke klinik yang khusus menangani luka bakar. Dan akhirnya dia dibaringkan di rumah sakit paru-paru Mannheim.
Tubuhnya ditelentangkan, diselimuti di bagian perawatan intensif. Tidak bergerak sedikit pun, bagaikan mummy. Setelah tiga malam di situ, Lauda mulai siuman. Ia tiba-tiba mendengar suara pastur sedang melakukan sakramen. Pastur rupanya tak tahu, bahwa otak Lauda mulai bekerja. Hati Lauda bukannya ciut karena menemukan dirinya diperlakukan sebagai orang yang bakal mati. Semangatnya justru bangkit.
Pengalamannya dengan pastur tadi rupanya terlalu pahit. Dalam sebuah wawancara, beberapa bulan setelah hari yang naas itu, Lauda menyatakan penyesalannya terhadap sikap pastur, yang dia anggap tidak bijaksana. Secara psikologis, katanya, sebuah sakramen akan membuat orang lebih cepat mati.
"Kalau seorang pastur datang kepada Anda yang sedang berjuang melawan sekarat dan berkata, "Kau akan sembuh, nak", dan menasihatkan supaya berjuang terus melawan maut, baru kemudian melakukan sakramen tanpa setahu Anda, okay-lah. Tapi ini, masuk ke kamar dan menyilangkan tanda salib di bahu, dan membisu... Saya berkata kepada diri saya, apabila dia memang mau melakukannya, silahkan, tetapi saya tak bakal menyerah."
Penghargaan
Sekitar setengah tahun setelah kecelakaan di sirkuit kota kecil Nurburgring itu, Lauda menerbangkan sendiri pesawat Cessna-nya dari Salzburg ke London. Di sana dia menerima penghargaan untuk keberanian dalam olahraga.
Lauda lantas memanfaatkan pengaruh kecelakaan yang dia alami, dan hadiah keberanian yang dia peroleh sebagai modal untuk kampanye meningkatkan keselamatan balap mobil.
Sudah sejak lama dia mengeluh mengenai sirkuit Nurburgring. Secara terbuka dia pernah menyebutkannya sebagai "biang keroknya maut". Lauda berkata: "Mengapa publik dan panitia harus melihat dulu sebuah mobil terbakar dan si pembalap terperangkap di dalamnya, baru menyadari bahaya? Kalau saya mesti menjadi seorang martir, OK-lah. Sejauh memang bermanfaat."
Nurburgring akhirnya menyerah. Beberapa perbaikan dilaksanakan, dan tahun ini sirkuit tersebut sudah masuk dalam kalender Grand Prix. Tetapi entah mengapa, sirkuit itu kelihatannya seperti punya dendam terhadap pembalap Austria itu. Bulan lalu, ketika mengadakan uji coba di situ, Lauda terpeleset keluar lintasan. Petugas lapangan buru-buru menolongnya. Ketika mereka berusaha menyeret mobil itu kembali ke lintasan, kaki Lauda tergilas ban.
Berkemauan keras dan dianggap sebagai satu-satunya pembalap yang menguasai betul mekanisme mesin, Lauda ternyata tak kehilangan rasa humor. Dia terkadang malah bisa membanyol mengenai cacat yang dia derita. Kepada orang yang menyapa dan menanyakan kesehatannya, dia pernah menjawab, "Saya sebenarnya baik-baik saja. Kecuali muka saya yang sedang memakai paha."
Mukanya kelihatan seperti ditempeli sobekan kertas-kertas merah yang tak rata. Yang tak kuat, bisa menggerenyitkan gigi melihatnya. Alisnya tak ada. Kuping kanannya mengeropeng dan hanya tertempel sebagian. Semua bekas luka bakar itu ditambal dengan kulit yang disayat dari pahanya. Inilah harga yang dibayar Lauda untuk mobilnya yang meledak dengan 200 liter minyak di tangki yang siap mengobarkan api.
Pelajaran
Lauda memang berani. Tapi bukan nekad. Dan kecelakaan di Jerman Barat itu memberikan pelajaran yang bagus. "Kecelakaan itu mengajarkan, bahwa mati itu begitu mudahnya. Akan menjadi lebih mudah lagi kalau Anda tambah dengan kebodohan," ujarnya.
Dia sendiri membatalkan niatnya untuk ambil bagian dalam Grand Prix di Jepang tahun 1976. Sirkuit di Fuji itu sedang ditutup kabut.
Menurut Lauda, dia ikut balapan mobil karena dia memang senang. Bukan karena dia mau mencari maut. Kalau sebuah mobil sudah bereaksi dengan intuisinya, maka dia merasa satu dengannya. "Kalau sudah begitu, saya merasa seperti di awamg-awang. Alasan saya kembali ke arena balapan, bukan karena saya memiliki keberanian luar biasa. Tetapi karena menginginkan perasaan sepert di awang-awang itu," katanya.
Bakat pembalap Austria yang lahir 22 Februari 1949 ini memang sudah terlihat sejak kecil. Dia sering terlihat mengendarai BMW pamannya di pekarangan pabrik kertas milik ayahnya. Pada usia 14 tahun dia sudah bisa bongkar pasang mesin VW. Umur 18 dia berhenti sekolah dan mengikuti lomba kebut gunung.
Ketika berusia 21 tahun Lauda membujuk sebuah bank untuk mensponsorinya dalam balap mobil Formula II. Tapi karena permintaan kakeknya, bank itu kemudian membatalkan sponsor seharga USS 20.000 (dua puluh juta rupiah lebih).
Tetapi Lauda tak mati akal. Dia meminjam ke tempat lain dan mendapat kredit $90.000. Kredit itu dicicilnya dengan penghasilan yang dia peroleh dari balapan Formula II. Tahun 1973 baru dia terjun ke Formula I.
Kebangkitan
Dua tahun kemudian, Lauda merebut Grand Prix dengan mobil Ferrari. Buat cukong mobil tersebut, Enzo Ferrari, ini berarti kebangkitan kembali. Karena sudah 20 tahun Ferrari tak pernah juara di arena mana pun.
Di mana saja Lauda muncul, pembalap yang tak pernah melepaskan tutup kepala untuk menyembunyikan kulit kepalanya yang dirusak api itu menampilkan kepribadian yang kuat. "Kekuatan kepribadian itu melupakan orang pada mukanya yang penuh parut," kata teman-teman dekatnya.
Lauda yang pernah digunjingkan bercintaan dengan pewaris tahta kerajaan bir Austria, Mariella von Reininghaus, menikah dengan tukang potret dan perancang mode kelahiran Venezuela, Marlene Knaus, tahun 1976. Tinggi pembalap ini 176 cm, bobotnya 70 kg. Sehari dia perlu tidur 10 jam. Tiap hari mereguk seliter susu. Tidak merokok. Alkohol? Menyentuh pun dia tak mau.
Lauda menikmati hidup dengan keluarganya di sebuah villa kecil di luar kota Salzburg. Untuk menenangkan pikirannya dia senang melakukan putting di pekarangan. Kegemarannya yang lain, menerbangkan pesawat pribadinya.
(Penulis: Sumohadi Marsis, Tabloid BOLA edisi no. 33, Jumat 12 Oktober 1984)
Editor | : | Caesar Sardi |
Komentar