6. Sabuk juara OPBF (Orient Pacific Boxing Federation) kelas bantam yunior kembali dilingkarkan ke pinggangnya.
Kemenangan ini sangat berarti buat petinju yang panggilan akrabnya Elly itu. Ia sudah merintis jalan untuk melangkah lebih jauh. Satu tahapan lagi, gelar juara dunia akan berada di tangannya. Namun menuju ke sana adalah berat dan penuh tantangan.
Si kidal, harus diakui, masih termasuk miskin pengalaman di dunia pro yang keras. Baru 11 kali ia naik ring. Tapi pengalaman semasa amatir, ditambah semangat tempur dan bakat sangat dalam pada dirinya, bukan mustahil akan mewujudkan cita-citanya.
Sudah ada rencana mempertemukannya dengan juara dunia versi WBC yang juga berasal dari Jepang, Jiro Watanabe. Bukan lawan enteng, sebab anak negeri matahari terbit itu juga dikenal menguasai olahraga beladiri karate serta kaya pengalaman sebagai petinju pro. Ia merampas mahkota juara dunia itu dari tangan petinju Muangthai, Payao Poltarat.
Jangan Berulang
Dalam sejarah tinju pro Indonesia, peluang Elly merupakan kesempatan ketiga kali buat petinju negeri ini menantang juara dunia. Pertama, Thomas Americo di kelas welter ringan yang akhirnya takluk di depan publik Istora Senayan dari Saoul Mamby (AS). Kedua, Joko Arter, yang mencium kanvas di ronde kedua ketika mencoba merebut gelar kelas bulu IBF dari petinju Korea Selatan, Uh Min Kun.
Masih lapat dalam ingatan, betapa beratnya pertentangan batin Americo, ketika ia harus menunggu lama kesempatan meraih gelar juara dunia itu. Bahkan secara menyakitkan harus pula ia melepas gelar juara OPBF yang disandangnya, karena lewat tenggang waktu untuk mempertahankannya.
Americo gagal menjadi juara WBC. Usaha merebut kembali gelar juara OPBF kelas welter ringan pun sirna. Prestasi Americo akhirnya terus melorot, sangat dalam dan sulit untuk bangkit kembali.
Waktu itu, ada dua promotor yang saling berebut menjadi penyelenggara. Akibatnya, petinju yang jadi korban. Kini kesempatan ke arah itu mulai terkuak lagi, mudah-mudahan Elly tidak akan menjadi korban serupa.
Memang, sudah ada persetujuan resmi KTI bahwa promotor yang berhak menyelenggarakan pertandingan perebutan gelar juara dunia Elly adalah P.T. Arena Coliseum pimpinan Boy Bolang. Direncanakan akan diadakan di Istora Senayan akhir tahun ini.
Boy Bolang mengakui, sudah ada rencana mempertemukan Elly dan Jiro. Tapi mengingat besarnya kontrak yang diajukan juara WBC itu, ia mempertimbangkan alternatif lain. Yakni memilih juara IBF, Yu Do Chun dari Korsel.
Ketua Umum KTI Pusat, Solichin GP, kabarnya mendukung rencana tersebut, dengan harapan petinju asal Maluku itu bisa lebih mcmpersiapkan diri, menutup segala kelemahan yang masih ada. Sehingga usaha yang dirintis promotor itu tidak sia-sia.
Elly yang hadir di arena pro sejak 1982 memang telah menunjukkan kemajuan pesat. Berbeda dari petinju Indonesia yang lebih dulu menyandang gelar juara OPBF, seperti Wongso Suseno, Thomas Americo, dan Juhari. Semuanya merebut gelar di depan publik sendiri, sedangkan Elly justru merampasnya di kandang singa, Korea Selatan, menaklukkan petinju tuan mmah Hee Yun Chun, pertengahan Mei lalu.
Jalan menuju tangga juara itu malah dirintisnya dari negeri tinju lainnya, Muangthai. Di sana, tanpa banyak pemberitaan, ia bersama pelatih merangkap manajernya, Ir. Simson Tambunan, secara mengejutkan memukul jatuh di ronde pertama Prayoonsak Maungsurin, urutan ke-9 WBC. Ini teijadi 30 Maret lalu.
Prestasi Elly menunjukkan bahwa kedua kepalan tinjunya bukan sembarangan. Nyali dan penguasaan teknik membuktikan kesiapannya menantang juara dunia. Tapi, tidaklah lebih mantap seandainya ia mempertahankan dulu gelaraya sekali atau dua kali lagi, sebelum tiba pada puncak keinginannya itu? Dari pada harus dipaksakan dan kemudian patah - seperti Americo?
"Beta selalu siap naik ring. Kapan saja asal bos yang suruh," ungkapnya polos sehari sesudah mempertahankan gelarnya, di tempat penampunganaya di sasana Garuda Jaya, Pancoran, Jakarta.
Sponsor
Sejak Solichin GP tampil ke pentas tinju pro sebagai Ketua Umum KTI (Komisi Tinju Indonesia) Pusat, ternyata membawa angin segar bagi perkembangan olahraga bayaran itu. Dua gelar juara OPBF sudah diraih petinju Indonesia. Frekuensi pertandingan semakin banyak. Dan satu hal penting lainnya, adalah lahirnya para promotor baru. Kurangnya promotor selama ini menjadi momok kemandegan berkembangnya tinju negeri ini ke tingkat internasional.
Salah satu di antaranya, seorang wiraswasta muda, Edwin Simorangkir (32) dengan wadahnya Edwin Simo Boxing Promotions. Promotor inilah yang menyelenggarakan perebutan gelar OPBF yang baru lalu.
Berbeda dengan Boy Bolang yang coba bangkit dengan kekuatannya sendiri, Edwin hadir ditopang keberhasilannya memperoleh sponsor. Menurut dia, pada pertarungan malam itu, pihaknya mendapat bantuan dari P.T. Djarum sebesar Rp 10 juta. Sedangkan uang pemasukan lainnya diharapkan tertutup dari penjualan tiket. Biaya seluruhnya diperhitungkan sekitar Rp 50-60 juta, termasuk kontrak Elly.
Ketika ditanya mengenai jumlah penonton yang sangat minim, ia mengakui akibat lemahnya promosi. Demikian juga mahalnya harga tiket, walau harga kelas III sudah ditekan Rp 3.500. Kelemahan ini akan menjadi perhatiannya pada kesempatan berikut. Malam itu Istora Senayan memang hanya terisi separuh dari kapasitas 11.000 penonton, termasuk seputar ring.
Betapapun promotor baru ini telah berusaha keras, namun dapat dibuka beberapa catatan yang patut dilemparkan ke alamatnya. Misalnya saja kasus lama, pengawasan di pintu masuk yang ketat tak menentu.
Para wartawan foto yang meliput jalannya pertarungan itu kembali harus mengurut dada. Pihak keamanan berseragam hijau mengusir mereka dari pinggir ring dengan alasan ada pejabat yang pandangannya terhalang.
Secara keseluruhan, pertarungan 7 partai malam itu berjalan cukup mulus. Empat petinju Indonesia seluruhnya menang atas petinju asing. Hanya satu partai sempat mengundang protes penonton karena keputusan yang dianggap kontroversial, yakni ketika Tubagus Jaya menang atas Romi Austria (Filipina) dalam pertandingan kelas terbang.
Wongso Indrajit yang bertarung di kelas bantam junior menghadapi Prayoonsak Maungsurin (Muangthai) berhasil menyuguhkan pertarungan menarik. Kemenakan Wongso Suseno itu bertarung dengan kesiapan teknik sehingga mampu mengalahkan lawan yang bertarung habis-habisan sejak ronde awal, dan Indrajit harus membayarnya dengan mendapat tambahan oksigen di ruang ganti pakaian.
Monod di kelas bulu mengalahkan Moris Pastor (Filipina) yang memiliki jangkauan lebih panjang. Di kelas bantam, Johannes Matahelemual menang angka atas Eddi Wonno, Suwarno Ferico (ringan) memukul KO di ronde kedua Ricardo Simanungkalit, dan Yani Hagler (terbang yunior) mengalahkan Bristol Simangunsong.
(Penulis: Ian Situmorang, Tabloid BOLA edisi no. 34, Jumat 19 Oktober 1984)
Editor | : | Caesar Sardi |
Komentar