kali menantang supaya tinju dilarang. Alasan mereka olahraga ini, baik profesional maupun amatir, sangat berbahaya. Jangankan pukulan KO, satu jotosan telak di kepala, kata mereka, sudah cukup untuk membikin kerusakan permanen di otak.
Kelihatannya tak ada olahraga yang lebih berbahaya dari tinju. Sejak 1945 sampai 1983, menurut catatan, sudah 358 petinju meninggal di seluruh dunia. Dalam deretan itu barangkali tak ketinggalan Aceng Jim dari Bandung.
Dua tahun yang lalu serangan terhadap tinju menghangat setelah kematian petinju Korea Platan, Kim Duk Koo, di Las Vegas, Amerika Serikat, akibat jotosan Ray "Boom Boom" Mancini. Beberapa pekan yang lalu para dokter bagaikan menemukan celah pukulan kembali, ketika tersiar berita Muhammad Ali menderita parkinson sebagai akibat dari jotosan-jotosan yang bersarang di kepala petinju besar itu selama 20 tahun karirnya. "Bagi saya sudah jelas trauma dari pukulan-pukulan yang terus-menerus menghajar kepala, menjadi penyebab beralasan yang membikin Ali terserang parkinson," ujar dokter pribadi Muhammad Ali, Stanley Fahn.
Belum Berat
Keterangan Fahn yang dimuat dalam American Medical News pertengahan Oktober itu, segera disambut Ketua Perhimpunan Dokter Ahli Syaraf, Nelson Richards. Dalam tulisannya di media yang sama, Richards menyatakan bahwa dia akan mendesak organisasi yang dipimpinnya untuk bergabung dengan Persatuan Dokter Amerika yang sejak 2 tahun lalu menyerukan supaya tinju dilarang.
Gejala penyakit parkinson yang diderita Ali, untunglah masih belum tergolong berat. Stanley Fahn mengatakan bahwa intelegensia dan daya ingat petinju berusia 41 tahun itu, tak sampai terganggu. Kejenakaannya pun tidak berkurang. Pengobatan yang dilaksanakan secara cepat, katanya, sudah menyembuhkan beberapa gejala penyakit tersebut. Seperti cara berbicara yang pelo dan muka yang mirip orang memakai topeng - tanpa ekspresi.
Banyak pengamat tinju, termasuk para penyanjung Muhammad Ali, menganggap penyakit tadi dia cari sendiri. Dia terlalu lama menari-nari di atas ring. Buat Ali sendiri (tiga kali merebut gelar juara dunia kelas berat) pilihan itu dia lakukan karena dia memang butuh poputaritas dan uang. Untuk dirinya sendiri maupun orang lain yang membutuhkan uluran tangannya.
Ali tidak menyesal dengan karirnya yang panjang dan telah menimbulkan masalah kesehatan bagi dirinya. "Saya bergembira atas karisma yang saya terima. Saya bergembira karena saya bisa memberikan uang kepada yang membutuhkan. Saya bergembira karena saya bisa membantu orang miskin," katanya kepada pewawancara dari jaringan televisi NBC.
Para pengamat beranggapan Ali seharusnya sudah meninggalkan ring setelah pertarungan melawan Joe Frazier untuk ketiga kalinya dalam perjumpaan mereka, di tahun 1975. Tetapi Ali masih mau menyengat terus, sampai 6 kali setelah duel itu. Paling akhir dia dikalahkan Trevor Berbick (Kanada), Desember 1981.
Parkinson yang diderita Ali dipercepat oleh kebiasaannya yang dengan sengaja membiarkan pukulan-pukulan mendarat di kepalanya. "Dan dalam acara sparring, dia membiarkan orang menghantam kepalanya, seakan-akan dia mau menunjukkan bahwa dirinya sanggup menerima pukulan macam apapun yang mereka bisa lepaskan kepadanya. Itu adalah bagian dari gaya penampilannya, tapi itu adalah juga kesalahannya yang parah," ulas Ray Arcel, pelatih kawakan yang pernah melatih beberapa petinju dengan nama dunia.
Kuning Telur
Rupanya kerusakan otak tidak hanya terjadi gara-gara pukulan KO. Scan otak yang ditemukan dalam lima tahun belakangan ini menunjukkan, bahwa petinju menderita kerusakan otak tanpa menyadarinya sama sekali.
"Kerusakan itu terjadi karena kepala yang berputar setelah kena jotosan dan mengakibatkan otak seperti kuning telur yang kena kocok," kata Profesor Byran Jennet dari Institut Bedah Syaraf di Glasgow, Inggris.
Kalau otak cedera, sulit menyembuhkannya. Angka kematian karena pendarahan otak cukup tinggi. Sekalipun fasilitas pembedahan yang canggih (sophisticated) cukup tersedia, angka kematian masih 45%.
Para dokter memang mengakui olahraga lain, seperti rugby, sepakbola Amerika, terjun payung, dan gantole juga berbahaya. Tetapi mereka punya dalih, olahraga ini diselenggarakan dengan langkah-langkah pencegahan terhadap kecelakaan. Lain halnya dengan tinju yang memang sengaja dipertandingkan untuk, antara lain, menghajar kepala agar lawan KO.
Hanya tinju amatir yang kelihatannya telah mengambil langkah pencegahan yang cukup berarti, misalnya dengan penggunaan tutup kepala. Sekalipun begitu, alat ini masih saja diserang oleh para dokter. Mereka mengatakan, tutup kepala itu memang bisa meredam jotosan, tetapi dia tidak memberikan kekebalan terhadap kemungkinan cedera otak.
Keberatan
Selain tutup kepala, awal tahun ini Komite Olimpiade Internasional telah menetapkan serangkaian tindakan yang harus diambil untuk mencegah kecelakaan. Seorang petinju baru boleh naik ring kalau sudah dinyatakan lulus lebih dulu dari pemeriksaan medis, yang secara khusus meneliti mata, telinga, dan syaraf, termasuk tes kepekaan keseimbangan. Dokter yang bertugas juga diberi wewenang lebih besar untuk menghentikan pertarungan kalau dia melihat keadaan sudah sangat berbahaya, berdasarkan
pertimbangan medis.
Banyak yang keberatan kalau peraturan seperti itu diterapkan dalam tinju profesional. Pertarungan tentu akan menjadi kurang menarik. Lagi pula banyak yang beranggapan bahwa akibat yang diterima petinju adalah harga yang pada tempatnya mereka terima.
Langkah mengalah pernah diambil World Boxing Council (WBC) dengan memaklumkan pengurangan perebutan gelar juara dunia dari 15 menjadi 12 ronde. Keputusan ini diambil menyusul kekalahan fatal Kim Duk Koo yang dihajar Ray Mancini. Namun langkah mundur ini tetap saja tidak memuaskan dokter yang menghendaki larangan total. Mereka balik menyerang dengan mengatakan bahwa hampir semua kematian justeru terjadi akibat pertarungan dalam 10 ronde.
Karena penggemarnya yang luas, tinju kelihatannya akan tetap punya daya tahan yang lama. Sekali pun lawannya tambah gencar menyerang. Dan tambah banyak.
Akhir 1983, Vatikan, lewat surat kabar resminya, menyebutkan tinju sebagai olahraga yang tidak manusiawi. Dari Jakarta, Majelis Ulama Indonesia, 2 tahun yang lalu mendesak tinju supaya diberangus, karena dinilai sama dengan menyabung manusia. Namun sampai sekarang baru Swedia (yang melahirkan Ingemar Johanson) dan Norwegia yang telah memberlakukan larangan terhadap olahraga yang dianggap paling ksatria tapi primitif ini.
(Penulis: Martin Aleida, Tabloid BOLA edisi no. 35, Jumat 26 Oktober 1984)
Editor | : | Caesar Sardi |
Komentar