Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Harry Sulistiarto: Dari Bukit 125 ke Puncak Eiger

By Caesar Sardi - Selasa, 26 Maret 2013 | 21:00 WIB
Harry Sulistiarto di Bukit 125.
Dok. Tabloid BOLA
Harry Sulistiarto di Bukit 125.

tebing gunung yang curam dan tinggi merupakan kecintaannya yang paling utama di samping hobinya memahat batu dan mengukir kayu balokan. Harry Sulistiarto memang pemanjat tebing dan mahasiswa tingkat IV Seni Rupa ITB.

Mungkin hanya kegiatan di dua bidang hobi itulah yang sehari-hari mengisi kehidupan rutin anak muda kelahiran 6 Juni 1955 di Surabaya ini. Kegiatan lain yang tak bisa ditinggalkannya tentu saja mengunjungi sang pacar, Ida Farida, koresponden majalah Tempo untuk Bandung yang sarjana sejarah itu.

Tugas wajib kunjung pacar ini pun kadangkala juga diborongnya sekaligus dengan kegiatannya nomor wahid, manjat tebing, seperti terjadi hari Minggu lalu. Pagi-pagi sang pacar sudah disuruhnya nangkring di boncengan Vespa 1976-nya. Harry pun ngebut menuju Tebing 125 di Citatah, Gunung Kapur, Padalarang, sekitar 25 km dari Bandung.

Akan halnya Tebing 125 ini ada ceritanya sendiri, begitu dikisahkan Harry. "Orang Padalarang sendiri menamakannya Gunung Pabeasan. Tebing 125 adalah nama julukan dari kami karena tebing ini tingginya 125 meter dan merupakan tempat ideal untuk berlatih," tuturnya.

Memang ideal, tebingnya cukup curam, nyaris tegak lurus dan banyak memiliki jalur-jalur aneh.

Si No

Harry mengaku, dalam cabang olahraga panjat tebing alias rock climbing ini ia semula hanya single fighter saja. "Saya menyenangi olahraga ini sejak masuk seni rupa ITB delapan tahun lalu. Mula-mula setelah membaca majalah yang memuat pengalaman para pendaki gunung di Eropa. Kemudian semakin ingin melakukan sendiri setelah menonton film-film berita di TV," tutur anak muda ini dengn nada sungguh-sungguh.

Tekad Harry ternyata bukan hanya terbatas sekedar keinginan saja, melainkan berlanjut sampai ke prateknya. Setahun setelah memperdalam seluk-beluk olahraga langka ini lewat buku-buku dan kerespondensi dengan sahabat pena sehobi di Inggris, Harry pun bertekad ingin menaklukkan bukit yang kemudian dijulukinya Bukit 125.

"Saya mula-mula pergi ke sana hanya berdua dengan pembantu rumah tangga yang biasa kami panggil Si No," tutur Harry. Itulah pengalaman pertamanya memanjat tebing. "Itu terjadi tujuh tahun lalu," tambahnya mengenang.

Setahun berikutnya, pada 1978, seorang rekan kuliah, Moko, merasa tertarik mendengar pengalaman Harry di Bukit 125 bersama si No. Lalu Moko pun ikut bergabung dan gunung pertama yang mereka ingin taklukkan adalah Gunung Parang di Jatiluhur.

Tetapi, ternyata gunung yang pertama kali dilihat Harry dari kereta api Parahiyangan Bandung-Jakarta itu gagal ditaklukkannya. Baru dua tahun kemudian, setelah Heri Hermanu, Deddy Hikmat, dan Agus Resmono Hadi yang sama-sama kuliah di seni rupa ITB ikut bergabung, Gunung Parang setinggi 934 m itu dapat ditundukkan.

Puncak Cartens

Tetapi tidak hanya di situ ambisi kelompok Skygers. Tahun 1981, atas dorongan para dosen seni rupa ITB, Harry bersama 19 mahasiswa ITB lainnya tak tanggung-tanggung melakukan ekspedisi ke Pegunungan Jayawijaya, Irja, untuk menundukkan dua puncaknya yang paling unik: Puncak Platen Spitz (4105 m) dan Puncak Cartenz (4884 m).

"Cartenz adalah sebuah anomali di tanah air kita ini. Biarpun terletak di khatulistiwa, tapi puncaknya bersalju," katanya. Ekspedisi ini juga bukan sekedar melampiaskan keinginan menaklukkan tebingnya yang memiliki kemiringan 70-90 derajat itu saja, tetapi juga sekaligus melakukan penelitian di bidang biologi dan geologi.

Itu mungkin sebabnya, tahun lalu Harry mendapat dukungan dari PT Jayagiri untuk memasuki International School of Mountaineering di Leysin, Swiss.

Rencananya, tahun depan ini Harry bersama Heri Hermanu, Mamay Salim, dan Saman alias Pak Kong akan membentuk tim Indonesia pertama yang akan memanjat tebing puncak Gunung Eiger di Swiss setinggi 3800 m yang juga disponsori PT Jayagiri, Bandung.

Itu sebabnya Sekolah Memanjat Tebing yang dibuka klub Skygers sejak 1981 sedikit banyak menunjang juga terhadap frekuensi berlatih para anggota inti. Maklum, latihan hampir setiap minggu, Sabtu dan Minggu. "Pesertanya datang dari mana-mana - Yogya, Surabaya, Jakarta," tutur Dedi Hikmat.

Sekolah ini dibuka tiap tahun dua kali. Setiap tahun ajaran siswa menerima dua paket pelajaran: dasar dan lanjutan. Dasar ditekankan pada cara-cara pengamanan (safety procedures). Sedang lanjutan sudah mulai ke ketrampilan memanjatnya itu sendiri yang kebanyakan berlangsung di Bukit 125.

(Penulis: Hikmat Kusumaningrat, Tabloid BOLA edisi no. 35, Jumat 26 Oktober 1984)


Editor : Caesar Sardi


Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

YANG LAINNYA

SELANJUTNYA INDEX BERITA

Close Ads X