84 yang kian panas, jumlah penonton di Jakarta kini makin dirasakan menyusut. Begitu parahnya, bagian publikasi Liga minggu lalu terpaksa memanggil keempat manajer serta bidang pertandingan Warna Agung, Tunas Inti, UMS 80, dan Indonesia Muda untuk mencari jalan keluar.
Jumlah yang kian menyusut itu, membuat tingkat kerawanan tersendiri bagi kelangsungan hidup klub-klub tersebut. Memang belum terlalu rawan, karena keempat klub yang bercokol di Jakarta itu mempunyai misi lain. Tetapi bahwa tak satu pertandingan pun membawa keuntungan, adalah perkara serius yang harus segera dicarikan jalan keluarnya.
UMS 80, misalnya. Sejak menjadi tuan rumah dalam lima pertandingan selalu rugi. "Ini kalau kita lihat secara keseluruhan," ujar Johny Pattipeluhu, ketua bidang keuangan klub dukungan ASTRA itu. Demikian juga yang diungkapkan Bernard Sindikara, ketua panitia pertandingan Tunas Inti.
Meski pimpinan UMS maupun Tunas Inti nampaknya sama-sama tidak akan mengundurkan diri, tetapi rasanya kocek mereka akan terus kedodoran. Lantas sampai kapan, mereka bisa bertahan seperti demikian? Ini harus dipikirkan juga oleh Ketua Umum PSSI, karena Galatama merupakan salah satu sumber masukan pemain nasional. Bahkan merupakan sumber utama yang siap pakai setelah Perserikatan dan Diklat Depdikbud.
Pemain Asing
Barangkali tidak ada salahnya jika Kardono, selaku Ketua Umum PSSI bisa mencairkan larangan tentang penggunaan pemain asing. Terbukti dengan pemain asing seperti Fandi Ahmad dan David Lee (Singapura) yang sangat menguntungkan tidak hanya Niac Mitra, tetapi seluruh klub lainnya.
"Waktu kami menghadapi Niac di Menteng tahun 81-82, kami bisa untung bersih Rp 12 juta. Keuntungan seperti itu kini tinggal mimpi indah saja," kata Abdul Azis Wahab, bagian pertandingan UMS.
Menurut Bernard, di saat Tunas Inti masih diperkuat dua pemain asal Belanda, Moses Isaac dan Hans Manuputty, kas klubnya juga cukup subur. "Yah, memang tidak bisa untung puluhan juta, tetapi jauh lebih baik dari sekarang," katanya.
Sulitnya, pemerintah sudah melarang beredarnya pemain asing di Indonesia. Padahal pelatih asing dibiarkan beroperasi. Kebijakan berbeda atas tenaga-tenaga yang sama-sama import dan juga sama-sama mempunyai andil bagi perkembangan persepakbolaan nasional.
Pers
Selain itu, baik menurut John Pattipeluhu maupun Bernard, dukungan pers kini juga dianggap berkurang, sehingga minat penonton ikut menyusut.
Dalam musim-musim sebelumnya, pers memang selalu menghangatkan situasi dengan tulisan-tulisan sebelum pertandingan. Sekarang kebanyakan di antara mereka hanya membuat jadwal kecil saja.
"Jadilah penonton yang kesal, sebab persepakbolaan memang sedang lesu, bertambah lesu. Akibatnya mereka enggan untuk datang. Malah terkadang mereka tak tahu adanya pertandingan. Inilah problem yang paling utama," kata John maupun Bernard.
Keduanya setuju, ketika dikatakan mengendurnya dukungan pers karena mutu Galatama juga sedang menurun. "Yah, memang akhirnya semua kembali pada klub itu sendiri. Kalau mutu klub bagus, otomatis orang akan datang," kilah John.
Untuk itu, di UMS 80 seluruh personil pengurus telah memberikan semacam lampu peringatan. Maksudnya agar para pemain juga mengerti betapa rawannya persoalan ini. "Beruntung mereka bisa memahami keadaan," lanjut John.
Sebagai bahan perbandingan, keduanya menurunkan beberapa pemasukan dan biaya untuk setiap pertandingan. UMS 80: biaya rata-rata Rp 1,3 hingga Rp 1,5 juta. Ini termasuk sewa lapangan Rp 400.000, wasit Rp 50.000 x 4 (khusus wasit DKI). Wasit dari daerah ditambah transportasi dan akomodasi, bisa mencapai Rp 300.000; keamanan Rp 200.000.
Demikian juga Tunas Inti. Belum lagi bonus untuk setiap pertandingan yang berakhir dengan kemenangan atau seri. Minimal setiap pemain menerima Rp 100.000 hingga Rp 150.000. Jadi jumlah keseluruhan bisa mencapai Rp 2 atau 3 juta.
Padahal rata-rata pemasukan tidak lebih dari Rp 1,6 juta. Bisa dibayangkan, bagaimana tingkat kerawanan yang dihadapi baik UMS, Tunas Inti, Warna Agung, atau pun IM.
Dari lima kali menjadi tuan rumah, UMS baru pernah untung Rp 1,2 juta yakni lewat pertandingan melawan Tunas Inti Rp 700.000 dan lawan Warna Agung Rp 500.000. Begitu juga Tunas Inti memperolehnya dari pertandingan melawan Warna Agung sekitar Rp 1.000.000 dan melawan Bali Yudha Rp 500.000.
Padang
"Namun keuntungan itu langsung tenggelam setelah dibaurkan dengan keseluruhan modal mereka. Pahit, tapi itulah kenyataannya. Seperti yang dikatakan John Pattipeluhu, "Memang hingga saat ini kami masih berada dalam fase berkorban. Namun hingga kapan? Tidak ada yang tahu."
Dari 12 klub yang ikut kompetisi 84-85 ini memang tidak seluruhnya merasa cemas dan resah. Semen Padang dan Makassar Utama, misalnya, masih boleh tepuk kantung. Di kedua kota tersebut, jumlah penonton tetap membludak. "Kami malah sempat sukses dengan keuntungan sekitar Rp 23 juta ketika menghadapi Tunas Inti," ujar Andi Darussalam, manajer Makassar Utama yang juga Sekretaris Liga.
Kalau begitu mudah-mudahan saja kerawanan tadi tidak menjadi senjata yang dapat menghentikan nafas klub-klub di Jakarta atau Bogor dan Surabaya. Dan tentu saja mudah-mudahan para pimpinan klub tetap tabah dan sabar sebagai dermawan - meski tidak tahu hingga kapan.
(Penulis: Mahfudin Nigara, Tabloid BOLA edisi no. 36, Jumat 2 November 1984)
Editor | : | Caesar Sardi |
Komentar