Bertepatan dengan penutupan Kejurnas Terjun Payung 1984/Prakualifikasi PON XI/1985, di Lanuma Atang Senjaya, Bogor, hari Minggu tanggal 7 November, Jenderal Polisi Anton Sudjarwo mengundurkan diri selaku ketua pusat terjun payung PB FASI. Ia menyerahkan jabatan sejak 1980 itu kepada Marsma Sugiantoro.
Sebelas bulan lalu, tepatnya tanggal 2 Desember 1983, Pak Anton juga mengundurkan diri sebagai ketua umum PB Taekwondo Indonesia melalui suratnya kepada KONI Pusat. Namun ia kini masih memegang pimpinan tertinggi persatuan bola voli (PBVSI) dan Lembaga Karate Indonesia (Lemkari).
Jabatan ketua di 4 cabang olahraga sekaligus dalam periode yang sama, memang tidak ringan. Dalam hal seperti ini, saingannya adalah Jonosewojo. Ia memegang pimpinan tertinggi Pelti (tenis), PABBSI (angkat besi), Perbasi (basket), dan pernah mengetuai PTMSI (tenis meja).
Tapi pengunduran diri Pak Anton, baik di taekwondo maupun di terjun payung dilakukan pada saat yang tidak menguntungkan. Taekwondo ditinggalkannya dalam suasana retak dan kacau, di antara perselisihan kubu WTF dan ITF. Kemudian di terjun payung, juga sedang dilanda musibah. Hanya dalam tempo dua bulan sebelum pengunduran diri itu, 4 penerjun tewas.
FASI sendiri menyebut peristiwa itu sebagai tragedi berat bagi FASI, khususnya olahraga terjun payung.
Di Indonesia, orang-orang yang mempunyai jabatan tinggi banyak diincar oleh induk-induk organisasi olahraga, guna diminta menjadi ketuanya. Sudah banyak contoh, KSAD Jenderal Rudini misalnya, kini menjadi ketua PB FORKI, Menkes Soewardjono di Perbasasi, Brigjen Wismoyo Arismunandar, Danjen Kopassandha, di PB PJSI.
Demikian pula Wagub DKI Eddie Nalapraya sebagai ketua umum IPSI, Dirjen Perhubdar Ir Giri Suseno di IMI, Marsekal Sukardi di FASI, dan juga Marsekal Romly di persatuan olahraga perairan. Tiga jabatan terakhir ini memang otomatis, dilihat dari sejarahnya.
Induk organisasi itu akan sangat beruntung, jika tokoh yang dipilihnya tepat. Artinya sangat gandrung akan olahraga yang dibinanya. Dahulu seperti judo dengan Ir. A.R. Soehoed (waktu itu menteri perindustrian) membawa prestasi judo melangit di kawasan ASEAN dan mampu membangun tempat latihan megah. Sedangkan Menkes Soewardjono begitu gairah memimpin Perbasasi.
Namun kalau yang dipilih ini tidak menyenangi olahraga yang bersangkutan, dan pilihan untuk menerima jabatan didasarkan atas motivasi lain tanpa imbangan memajukan prestasi, bisa jadi bumerang. Baik kepada yang bersangkutan maupun induk organisasinya.
Khusus bagi terjun payung, olahraga ini selama dua tahun terakhir sangat sepi akan kalender kegiatan nasional. Khususnya sebelum PARASEAN V 1983. Atlet-atlet kehilangan gairah dalam mengisi kegiatan dan tidak ada jenjang yang harus dituju. Justru dari 4 penerjun yang tewas selama dua bulan terakhir ini, perbandingannya 50:50. Dua penerjun pemula dan dua penerjun kawakan.
Kenapa musibah itu justru menimpa penerjun kawakan seperti Ganjar Laksmana, yang tewas di Pangkalan Jati, Cirebon, dua bulan lalu. Mungkin faktor kelelahan dan kekesalan bisa dijadikan sebab. Penerjun ini sudah mempersiapkan diri menjelang kejurnas yang seyogyanya sudah terselenggara bulan Agustus lalu. Namun diundurkan sampai akhirnya diadakan minggu lalu di Bogor. Ganjar sudah mengorbankan waktu latihan, dengan mbolos kerja atau kuliah dan sebagainya.
Seyogyanya peristiwa pengunduran Pak Anton ini bisa ditarik ke sudut luas, dunia keolahragaan kita. Khususnya bagi dunia voli dan karate yang masih mempercayainya sebagai pimpinan tertinggi.
(Penulis: Ignatius Sunito, Tabloid BOLA edisi no. 37, Jumat 9 November 1984)
Editor | : | Caesar Sardi |
Komentar