Postur tubuhnya tidak terlalu istimewa, biasa saja. Tapi, bila sudah turun ke lapangan, akan terlihat gerakannya serba lincah, seolah tak mengenal lelah. Pemain remaja dari kota kretek, Kudus ini memang lincah dan bertenaga.
Dia adalah Hermawan Susanto. Mengagumkan, tentu saja, sebab seleksi penentuan ranking yunior nasional yang diikutinya, terbilang paling berat. Di kejuaraan dunia sekali pun tidak akan selelah yang terjadi pada 21-26 November lalu itu.
Bayangkan, selama enam hari pertandingan, seorang pemain yang berhasil maju ke semi final, harus turun bertanding tidak kurang dari 10 kali!
Hermawan Susanto membuktikan diri yang terhebat. Bertarung 10 kali dan tidak pernah terkalahkan. Lawannya di final, Goe Ren Fang sebenarnya juga tidak kalah hebat, tapi nyatanya memang Hermawan lebih komplit. Seluruh lawan pernah ditundukkan. Ren Fang sendiri dua kali kalah. Pertama di babak penyisihan dan di final, di tangan Hermawan.
Maka ketika keduanya turun di final, puluhan penonton yang memadati Hall C Senayan tempat pertandingan dilangsungkan memberikan perhatian sangat besar. Tepuk tangan berkepanjangan sering mewarnai duel dua remaja ini.
Keduanya memiliki teknik berimbang. Hanya faktor kecerdikan dan stamina yang menentukan. Set pertama Ren Fang menang 15-12, set kedua dipukul balik 11-15. Set menentukan juga berjalan tegang, pengumpulan angka saling berkejaran. Goe Ren Fang tampaknya di atas angin dan terus memimpin hingga pertukaran tempat, 8-5.
Di sinilah letak kelihaian Hermawan. Tertinggal 5-9, tapi dengan segala ketekunan dan keuletan, kekalahannya terus dipertipis hingga menyamakan 9-9 dan terus berkembang, malah balik memimpin hingga 14-9. Akhirnya menutup set yang melelahkan ini dengan 15-11.
Kedudukan 3-2
Goe Ren Fang, kelahiran Surabaya 29 Maret 1968. Kini berlatih di SMA Ragunan di bawah bimbingan langsung Rudy Hartono dan Retno Kustiah. Masuk ke lingkungan sekolah olahragawan ini sejak Januari lalu, banyak mengalami kemajuan setelah ditangani maestro bulutangkis kita itu.
Akan halnya Hermawan, lahir di Kudus 24 September 1967. Berlatih di bawah pengawasan ayahnya sendiri, bekas pemain nasional Agus Susanto yang bernaung di bawah klub raksasa Djarum. Pelajar kelas 2 SMA Keluarga di kota yang sama.
Hermawan lebih tua satu tahun, tapi dilihat dari postur tubuh, Ren Fang tampak lebih kokoh dan berotot dengan tinggi 176 cm dengan berat 67 kg. Sedangkan Hermawan, tinggi 169 cm dan berat 55 kg.
Putra pertama dari 5 bersaudara keluarga Arya Wiratama pemegang juara ketiga yunior Asia 1983 di Calcuta, Ren Fang mengakui kekalahannya atas Hermawan. Keduanya sudah terlibat 5 kali pertarungan, saat ini Hermawan unggul 3-2. "Masih banyak waktu, nanti akan saya tuntut balas," kata Ren Fang dengan tatapan mata penuh keyakinan.
Hermawan tak kalah sengit. "Biar saja, dia maju dalam latihan, tentu kita juga sama-sama berlatih. Bagaimana nanti, siapa yang menang kalau ketemu lagi!"
Kedua remaja ini memang terlibat satu pertarungan hebat di atas lapangan, tapi sebenarnya mereka adalah dua sekawan yang cukup akrab. Hal ini terlihat ketika sebelum turun bertanding, mereka saling ngobrol penuh akrab.
Jiwa sportivitas sudah tertanam di sanubari kedua pemain yunior yang akan menjadi harapan di masa mendatang. Mereka menyadari kompetisi bukan berarti permusuhan. Kemenangan hanya diperoleh lewat persiapan diri.
Om King
Bagaimana awal cerita Hermawan terjun ke arena bulutangkis bukanlah suatu cerita yang rumit. Lingkungan telah menempanya untuk hidup dan mencintai olahraga bulutangkis.
Agus Susanto, pelatih bulutangkis klub Djarum adalah ayahnya. Tidak hanya itu saja, ibunya Mega Idawati adalah kakak kandung Liem Swie King, pemain terbaik nasional saat ini.
Mega Idawati sendiri bukan tak berprestasi bulutangkis. Nyonya Susanto, ibu dari dua anak ini bekas pemain nasional tahun 60-an. Prestasinya tidak jauh kalah dari seangkatannya Minarni, Retno Kustiyah. Pernah memperkuat tim Piala Uber Indonesia ke Jepang 1963, maka tidaklah heran kalau dalam darahnya mengalir deras bakat bulutangkis.
Juara yunior Asia 1983, Beben Supendi telah ditaklukkan. Ini pertanda, dirinya sudah siap melangkah lebih jauh. Juara seleksi ranking nasional diperoleh dengan perjuangan berat. Ini membuktikan bahwa dialah yang terbaik sekarang. Terbaik sebab peserta seleksi sudah hampir mewakili seluruh pemain yunior nasional.
Latihan keras yang didapat selama mengikuti latihan di klub Djarum telah menempa dirinya untuk menyadari bahwa tanpa disiplin diri sendiri, segalanya akan sia-sia. Keyakinan ini lebih ditekankan lagi oleh omnya, Liem Swie King.
"Saya tidak puas hanya seperti Om King, saya ingin lebih hebat lagi!" kata anak muda ini penuh harapan.
Tokoh idolanya, omnya sendiri sering mewarnai penampilan Hermawan. Sadar atau tidak, beberapa gerakannya mirip dengan King. Salah satunya adalah jumping smash terkenal King, bisa dipraktekkan walau belum sempuma.
Sumarsono, Ketua Bidang Luar Negeri PB PBSI yang menyaksikan partai puncak yunior itu mengomentari dan memuji penampilan Hermawan yang bertenaga dan taktis. "Semangatnya seperti Lius Pongoh, tapi belum memiliki smes mematikan seperti King," komentar Sumarsono.
Dengan gelar juara di tangan, Hermawan mempunyai peluang mengikuti berbagai turnamen internasional awal tahun depan, mendampingi para senior.
Dan ambisi melebihi prestasi King mulai menguak.
(Penulis: Ian Situmorang, Tabloid BOLA edisi no. 40, Jumat 30 November 1984)
Editor | : | Caesar Sardi |
Komentar