Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Galatama, Ke Mana Sekarang?

By Caesar Sardi - Selasa, 16 April 2013 | 07:00 WIB
Gelandang PSSI Perserikatan Adjat Sudradjat (putih) mencoba mengatasi M. John, bek kanan Yanita Utama, dalam pertandingan kehormatan di Senayan.
Dok. Tabloid BOLA
Gelandang PSSI Perserikatan Adjat Sudradjat (putih) mencoba mengatasi M. John, bek kanan Yanita Utama, dalam pertandingan kehormatan di Senayan.

Hujan yang mengguyur Stadion Menteng Jakarta pada malam pertandingan terakhir kompetisi Galatama pekan lalu bisa diartikan secara lain dalam dua segi. Pertama, sebagai pernyataan ikut gembira Yanita Utama yang mempertahankan gelarnya dengan kemenangan santai atas Tunas Inti. Kedua sebagai pernyataan ikut berduka cita pada persepakbolaan non amatir kita ini.

Perkara ikut gembira atas keberhasilan Yanita jadi juara lagi, ya sudahlah. Ini mungkin memang rejekinya Pitoyo Haryanto, usahawan muda yang begitu nongol di sepakbola - tanpa bekal cukup kecuali duit segudang - langsung saja klubnya jadi juara. Bahkan dua kali berturut-turut.

Yang lebih patut dipikirkan adalah kaitan pikiran yang kedua. Yakni bahwa persepakbolaan kita, khususnya Galatama, kini dalam posisi yang kurang lebih gawat.

Dalam musim kompetisi 83-84 sudah kita ingatkan, juga berbagai komentar kita tampilkan, tentang menurunnya mutu sepakbola semiprof kita itu. Ternyata dalam kompetisi periode berikutnya, yang berakhir jauh lebih cepat dari rencana, mutu itu bukan saja tambah menurun, tapi juga faktor-faktor lainnya ikut merosot.

Sebagai wakil kemerosotan mutu itu sejumlah pertandingan di Jakarta maupun di kota-kota lain bisa dengan mudah disebut. Tapi yang terakhir, dalam pertandingan kehormatan yang konon juga dianggap sebagai "pertandingan prestise". Yanita sendiri bermain begitu acak-acakan ketika menghadapi tim PSSI Perserikatan.

Memang akhirnya Yanita menang 2-1 setelah ketinggalan 1-0 di babak pertama. Tapi sebenarnya gol tunggal PSSI Perserikatan yang dicetak Adolf Kabo tak perlu terjadi kalau saja barisan pertahanan Herry Kiswanto cs tidak mendahuluinya dengan membuat kesalahan tak perlu: mempermainkan bola di daerah sendiri. Kelemahan lain yang lebih menonjol: Herry, Rudy Kelces, Joko Malis dan lain-lain terlalu bermain individual. Seperti bermain rugby saja layaknya.

Lebih penting dari itu, pertandingan terakhir Galatama ditonton hanya oleh sekitar 5.000 orang. Akan lebih menyedihkan kalau kita tahu bahwa jumlah itu sudah lebih baik dibanding pertandingan-pertandingan lain di Jakarta. Konon hanya klub-klub di Padang dan Ujungpandang yang masih bisa menikmati keuntungan dari penjualan karcis.

Dengan kata lain bisa disimpulkan, Galatama kita sekarang makin gawat karena mutu penonton menipis, pimpinan klub pun mulai  mengempes. Soalnya, seperti kata seorang pengamat di Menteng. "mengeluarkan uang terus kan capek". Betul juga, apalagi kalau prestasi klubnya ikut "capek".

Jadi, apakah usia Galatama tinggal menghitung hari saja karena klub-klub anggotanya bersiap mengalihkan kegiatannya ke lingkaran lain?

Suara Acub Zainal, Ketua III PSSI, yang juga Administrator Liga, sama lantangnya dengan Wahab Abdi, Ketua II PSSI yang membawahkan kegiatan Perserikatan. "Galatama tak akan bubar. Klub-klub pun belum ada yang berhasrat bubar," kata Acub. Dan kata Wahab, "Mereka sudah menjadi anggota PSSI. Jadi mereka harus bertahan. Tak mungkin bubar begitu saja".

Reaksi dari para pimpinan klub pun kurang lebih serupa. "Terlalu banyak faktor yang harus diperhitungkan hingga tak akan mudah klub mengundurkan diri," kata Ismet Tahir, pimpinan klub Arseto. Faktor utamanya, kata Ismet, adalah bahwa tujuan Galatama itu sendiri menciptakan persepakbolaan yang bermutu - belum tercapai.

Benniardi, yang amat prihatin dengan prestasi klubnya meski segala daya dan dana sudah dikerahkan, agaknya juga tidak punya niat mengendorkan kegiatan Tunas Inti. "Kami akan jalan terus sepanjang Liga masih jalan juga," tuturnya.

Komentar dari kebanyakan tokoh lain kurang lebih juga begitu. Tapi mereka juga merasakan perlunya ada "sesuatu" yang harus diciptakan sebelum kompetisi Galatama mulai lagi.

Keterangan di belakang "sesuatu" itu beragam bentuknya. Ismet misalnya, menginginkan para pemain lebih dimatangkan kemampuan non teknisnya. "Mereka harus lebih disiplin, loyal, dan profesional. Jangan hanya tahu hak saja tapi tanpa kewajibannya," begitu katanya.

Keinginan dan harapan agar para pemain benar-benar bersikap profesional itu memang merata. Dalam arti tentunya, pemain lebih menjiwai posisi dan fungsinya sebagai pemain pilihan. Kehendak seperti itu pun diinginkan pada para wasit yang ternyata masih saja sering mengeruhkan pertandingan.

Bagaimana dengan mengizinkan kembali pemain asing agar suasana semarak lagi? Banyak pendapat berkembang. Klub yang pro tak mau terbuka seperti Sutjipto Suntoro, bekas kapten tim nasional itu. Tapi Pitoyo, Ismet, dan apalagi Wahab Abdi, dengan keras menentang.

"Galatama lahir antara lain juga untuk membuka kesempatan kerja. Kenapa tidak kita berikan kesempatan itu kepada pemain kita sendiri saja?" tukas Ismet. Dan kata Pitoyo: "Asal pemain kita sendiri main sungguh-sungguh mutu akan cukup baik, dan penonton akan datang."

Tapi beberapa pemain Yanita sendiri, seperti Rudy Kelces, Bambang Sunarto, dan Bambang Nurdiansyah, setuju kalau pemain asing boleh lain lagi. "Kehadiran mereka merangsang kami untuk makin berprestasi," tutur Rudy sambil mengenang masa kejayaan Niac Mitra bersama Fandi Ahmad dan David Lee dari Singapura.

Kepala sama hitam, pendapat beraneka. Maka baguslah Liga punya rencana untuk mendiskusikan masa depan persepakbolaan semiprof ini bulan depan di Senayan. Siapa tahu timbul ide dan konsep yang baik untuk semuanya?

(Penulis: Mahfudin Nigara dan Sumohadi Marsis, Tabloid BOLA edisi no. 41, Jumat 7 Desember 1984)


Editor : Caesar Sardi


Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

YANG LAINNYA

SELANJUTNYA INDEX BERITA

Close Ads X