iklan di koran. Tetapi sebenarnya Liga Galatama memang harus memasang iklan seperti itu, agar kompetisi berjalan dengan mulus tanpa berbagai ganjalan, baik di hati pemain, pengurus klub, masyarakat, maupun para wasit itu sendiri.
Menurut Syamsuddin Hadadde, Ketua Komisi Perwasitan PSSI, seorang wasit yang akan bertugas harus memenuhi beberapa syarat. Yakni, pengetahuan, ketegasan, keberanian, kewibawaan, dan kesiapan. "Tanpa kelima unsur tersebut, seorang wasit tidak akan sukses dalam memimpin pertandingan," katanya pada BOLA.
Namun sayangnya, dalam musim kompetisi Liga yang baru berakhir minggu lalu, banyak wasit yang tidak memenuhi persyaratan seperti di atas. Tentu saja akibatnya adalah pemandangan tak sedap menghiasai banyak pertarungan Galatama.
Bahkan tidak sedikit kapten kesebelasan yang membubuhkan protes dalam surat laporan pertandingan mereka akibat ketidakpuasan pada wasit. Hanya sayangnya, tidak banyak di antara mereka yang mau mengajukannya ke meja sidang dengan surat protes resmi. Namun dari dasar protes di kertas laporan itu sudah tergambar bagaimana mutu wasit kita saat ini.
Hukuman
Dari data yang diperoleh BOLA, tahun 80-81 saja terjadi 29 kali protes. Putaran pertama 22 kali, sedangkan di putaran kedua hanya tujuh kali. Kemudian dalam musim kompetisi 82-83 terjadi 17 kali protes dengan dua pertandingan tak terselesaikan.
Di putaran pertama, protes terjadi ketika Niac Mitra menghadapi Bintang Timur. Di putaran kedua, saat Warna Agung melawan Mercu Buana.
Musim 83-84 menurun. Tetapi jumlah pertandingan yang tak terselesaikan di lapangan tetap sama, dua. Pertama ketika Indonesia Muda melawan Mercu Buana dan Bima Kencana menghadapi Cahaya Kita. Jumlah protes itu sendiri hanya 14.
Dalam musim yang baru berakhir minggu lalu, protes itu kembali meningkat menjadi 19. Satu pertandingan amat penting tidak mencapai menit ke-90 karena terjadi kericuhan akibat perbedaan pandangan antara wasit dan para pemain. Waktu itu UMS 80 melawan Yanita Utama.
Melihat kenyataan ini, timbul pertanyaan, apakah tidak sebaiknya Liga membuat komisi perwasitan sendiri. Ini tentu saja untuk mempermudah Liga sendiri dalam mengatur bagaimana wasit-wasit itu bertugas.
Tapi dengan tegas Administrator Liga, Acub Zainal, mengatakan hal itu tidak mungkin dilakukan. "Persoalannya, kita berada di bawah PSSI. Jadi, mana mungkin ada dua komisi perwasitan dalam satu induk organisasi?" katanya.
Meski demikian, dengan gamblang Acub mengakui, dengan komisi wasit seperti sekarang, pihaknya mempunyai berbagai hambatan untuk mendapatkan wasit-wasit yang baik. "Maksud saya, kami dari Liga memang tidak bisa menghukum wasit yang kami anggap tidak betul dalam memimpin. Kami hanya membuat surat laporan saja pada PSSI, dalam hal ini komisi perwasitan," kata Acub.
Di sanalah, menurut Acub, semua laporan diolah. Jadi, kalau pihaknya sudah menganggap wasit anu kurang baik dan telah membuat laporannya pada PSSI tetapi kenyataannya masih tetap ditugaskan, itu sepenuhnya hak komisi wasit.
Yah, memang repot kalau melihat kenyataan seperti demikian. Di satu pihak Liga dituntut untuk memilih wasit-wasit terbaik agar kompetisi berjalan mulus. Di lain pihak mereka tidak punya kekuatan apa-apa.
Mendidik
Lantas bagaimana langkah yang dilakukan Komisi Perwasitan PSSI itu sendiri menghadapi masalah seperti ini? Menurut Syamsuddin Hadadde saja rasanya memang kurang bijaksana. Staf ahli Menpora yang bekas wasit FIFA ini baru menjabat kedudukan itu empat bulan lalu setelah menggantikan ketua yang lama, Sudarsono SH. Namun demikian, Syamsuddin sebenarnya harus mulai mengambil langkah keras. Syamsuddin yang mengaku masih perlu menyesuaikan diri dengan lingkungan ini sampai sekarang belum juga membuat tindakan apa-apa. Misalnya saja dalam menghukum anak buahnya. Syamsuddin masih seperti orang-orang lama, menempuh cara sembunyi-sembunyi.
Hal ini sempat dikeluhkan oleh Ronny Pattinasarani, sesaat ia ditegur dengan keras oleh Liga lantaran memperlakukan wasit asal Bogor, Budi Riyadi, dengan kasar. "Percuma saja kalau para pemain yang salah ditegur, dihukum, dan sebagainya, sementara para wasit yang salah dibiarkan saja," tukas kapten Tunas Inti itu.
Syamsuddin sendiri mengatakan, pihaknya sudah melakukan hukuman terhadap wasit Budi Riyadi. Tetapi hukuman tersebut katanya bersifat mendidik dan tidak perlu diumumkan. Ini tentu saja mengaburkan pengertian tanggung jawab moral antara pemain dan wasit yang sama besarnya.
Karenanya, timbul pertanyaan, mengapa mau melakukan dan mengumumkan hukuman kepada para pemain, tapi tidak pada wasit? Ini yang rasanya perlu dicarikan jalan tengahnya. Bukan apa-apa, tapi jika wasit yang bersalah juga diumumkan hukumannya, pasti wasit lainnya akan berpikir untuk membuat kesalahan serupa.
Itu sebenarnya memang menjadi hak penuh Ketua Komisi Perwasitan. Tetapi ada baiknya jika dicoba jalan seperti begitu. Pasalnya tidak lain agar para wasit, yang secara teoritis dan kenyataan merupakan penentu pertandingan, bisa menjalankan tugasnya dengan mulus. Kalau sudah demikian, tentu bukan hanya gengsi wasit yang naik, tetapi juga gengsi persepakbolaan nasional.
(Penulis: Mahfudin Nigara, Tabloid BOLA edisi no. 41, Jumat 7 Desember 1984)
Editor | : | Caesar Sardi |
Komentar