masing negara, khususnya Indonesia.
"Sejak tahun 2007 diajak ikut serta untuk membicarakan soal ini oleh AFF hingga saat ini sikap saya masih tetap sama: kurang setuju dengan rencana pembentukan Liga Super ASEAN. Konsep yang ditawarkan AFF dengan mitra bisnisnya World Sport Group akan menciptakan situasi yang tidak sehat di masing-masing federasi," tutur Joko Driyono, CEO PT Liga Indonesia.
Menurut Joko Driyono, konsep klub franchise yang akan menjadi peserta kompetisi Liga Super ASEAN jelas menabrak Statuta PSSI. "Bagaimana bisa federasi membentuk sebuah klub, dan memutuskan klub tersebut menjadi peserta kompetisi level internasional. Itu sama dengan federasi tidak menghormati dan menghargai anggotanya sendiri," ujar Joko Driyono.
Lebih realistis jika kompetisi LIga Super ASEAN diikuti klub-klub jawara masing-masing negara. "Akan tetapi itu pun akan terasa sulit dalam sisi pengaturan penjadwalan kompetisi. Klub-klub tersebut juga ikut serta di kompetisi domestik negaranya dan tampil di kompetisi Asia garapan AFC. Mereka akan kesulitan membagi waktu. Kebutuhan pendanaan yang besar akan menyulitkan klub," ujar Joko.
Titik tengah yang mungkin bisa diambil adalah kompetisi diubah menjadi bentuk turnamen. Konsep ini pernah diterapkan pada 2003 dan 2004 di mana klub-klub terbaik ASEAN tampil di sebuah turnamen dengan label LG Cup. "Konsep itu lebih masuk akal dibanding memaksakan pelaksanaan kompetisi penuh dengan jumlah peserta sekitar 16 klub," kata Joko Driyono.
Menurut Joko Driyono, dari sisi bisnis Liga Super ASEAN juga kurang menguntungkan karena kemerdekaan klub mencari sponsor dikebiri AFF dan WSG. "Sistem pembagian keuntungan hampir sama dengan Piala AFF, di mana WSG dan AFF menguasai seluruh hak komersial turnamen. Federasi anggota yang ditunjuk sebagai tuan rumah hanya kebagian hak penjualan tiket pertandingan. Mereka tak berhak mencari sponsor sama sekali. Ada kemungkinan sponsor kakap lebih memilih kompetisi ini dibanding kompetisi domestik negara ASEAN."
Editor | : | Ario Yosia |
Komentar