Enam orang tewas, sembilan lainnya luka berat ketika mobil seorang peserta reli menyambar kerumunan penonton di Lampung Tengah, 28 Januari 1983. Bencana ini terjadi di saat berlangsungnya sirkuit reli nasional seri ketiga.
Peristiwa Lampung ini merupakan puncak rasa antipati terhadap olahraga bermotor, khususnya reli yang memang sudah mendapat sorotan tajam sebelum itu. Tragedi itu sampai sekarang seperti ditutup-tutupi. Belum ada keterangan resmi dari IMI. Orang hanya mengetahuinya dari surat pembaca di KOMPAS, 5 Februari 1983.
Sementara itu pembalap tewas di sirkuit atau penonton kehilangan nyawa ketika menyaksikan balap mobil dan motor sudah dianggap biasa. Itulah resiko dari olahraga berbahaya itu. Baik pembalap maupun penonton yang datang ke sirkuit memang selalu diperingatkan bahwa olahraga ini berbahaya. Tapi penonton tewas di pinggir jalan, bukan hal biasa.
Sejak diperkenalkannya reli internasional Dharmaputra 1975, banyak jalan umum diubah menjadi sirkuit. Ada trayek istimewa (special stages) di mana peserta dituntut waktu seminimal mungkin, berarti ia harus memacu mobilnya semaksimal mungkin. Sehingga muncul kesan, reli adalah ngebut di jalan raya yang dihalalkan.
Selain reli yang mengutamakan kecepatan, tumbuh pula bak jamur di musim hujan apa yang disebut reli santai. Kegiatan ini menambah rasa antipati masyarakat. Dianggap sebagai pamer kemewahan, di saat pemerintah sedang gencar-gencarnya mengkampanyekan hemat energi dan hidup sederhana.
Pelbagai dalih boleh saja dilontarkan IMI, kenyataannya memang muncul rasa antipati terhadap olahraga otomotif di negeri ini, khususnya reli. Tapi langkah terbaik buat induk organisasi olahraga ini tentu bukan sikap konfrontatif terhadap opini yang tumbuh, melainkan mawas diri. Adakah kecemburuan sosial timbul karena perbuatan para pecinta olahraga ini? Atau barangkali ada kesenjangan komunikasi?
Bagaimanapun juga, konsentrasi pembenahan harus dilakukan dari dalam, dan jangan sampai pihak luar ikut campur. Jangan sampai terulang munculnya larangan sementara untuk reli di tahun 1979, meskipun alasannya saat itu untuk penghematan bahan bakar.
Sudah saatnya olahraga bermotor digiring kembali ke sirkuit atau tempat-tempat khusus untuk balap. Meskipun ini bukan berarti mematikan kegiatan reli, yang nantinya harus diadakan lebih selektif.
(Penulis: Sumohadi Marsis, Tabloid BOLA edisi no. 42, Jumat 14 Desember 1984)
Editor | : | Caesar Sardi |
Komentar