Kalau Liga memilih pemain terbaik untuk musim kompetisi tahun ini, mahkota itu pasti akan singgah di kepala Herry Kiswanto, libero terbaik untuk saat ini. Orang tak akan mengingkari kenyataan ini.
Ayah seorang anak itu, tetap tegar. Tetap disegani sebagai pemain terbaik, meski tak ada gelar yang diberikan kepadanya. Pemain yang memiliki teknik lengkap ini adalah palang pintu keberhasilan Yanita Utama merebut dan mempertahankan gelar juara. Di tangannya pula terletak tanggungjawab besar dalam usaha meraih sukses pada Kejuaraan Piala ASEAN I yang saat ini sedang berlangsung.
Kolumnis Kadir Yusuf, menjuluki Herry sebagai spesialis anchor-man (pemain jangkar). Peran yang memang sesuai sebagai tonggak bagi Yanita untuk merebut sukses dalam perebutan mahkota ASEAN perdana itu.
Boleh dikatakan Herry merupakan ladang besar bagi Yanita. Keberuntungan besar bagi klub kota hujan itu bisa merekrutnya. Sesuatu yang tentu melahirkan iri bagi klub-klub lain yang sebelumnya menginginkannya. Sebaliknya Yanita juga merupakan ladang keberuntungan bagi Herry.
Tahun lalu, nasib Herry benar-benar tak menentu. Bekas bos besarnya, Dr TD.Pardede enggan melepaskannya dari Pardedetex. Hal yang wafar jika melihat kemampuan Herry. Tetapi tekad pemuda pendiam itu membuat garis pertentangan terjadi. Pertentangan yang nyaris menamatkan karirnya dalam dunia persepakbolaan, hingga muncullah sang penolong, si kancil Abdul Kadir.
Pak Katua pun merelakan Herry bergabung dengan Yanita. Tentu Pak Katua juga harus bangga, sebab ternyata pemain yang pernah dibesarkannya itu mampu meraih dua gelar Juara Galatama berturut-turut. Kebanggaan itu pasti akan bertambah lengkap jika Herry mampu pula membawa Yanita menjadi juara ASEAN.
Lahir 25 April 1957 di Banda Aceh, Herry menikah empat tahun lalu dengan mahasiswi jurusan sejarah IKIP Bandung, Tuty Heryati. Ia mengawali karirnya sebagai pemain di klub Tornado tahun 1973. Setelah lulus dari SMEA Negeri Ciamis, anak pensiunan Angkatan Darat, Komari asal Lumajang, Jatim itu hijrah ke Banjar. Tak lama di kota itu, Herry pindah ke Bandung untuk bergabung dengan klub UNI.
Dengan langkahnya yang serba pasti pada diri Herry lahir kharisma yang membuat segan setiap teman maupun lawan. Ini dapat dibuktikan dalam setiap penampilan. Ia selalu bergerak anggun dengan umpan-umpan yang akurat dan menusuk. Ia Juga menjadi tembok yang amat sulit untuk dilewati lawan.
Manajer UMS 80, Rahim Soekasah mengatakan, "Pemain lain segan beradu dengan Herry. Kharismanya cukup besar. Tetapi selain itu, Herry juga menopangnya dengan kemampuan teknik yang tinggi," puji bekas kiper klub Mahasiswa Jakarta itu.
Herry sendiri tidak merasakan apa-apa. "Saya tidak melihat mereka segan pada saya. Tapi entahlah kalau memang begitu," katanya merendah.
Di luar lapangan pun, Herry merupakan pribadi yang menyenangkan bagi rekan-rekannya. Ia tak banyak bicara, meski sesekali suka bergurau. Barangkali ini juga yang membuat setiap rekannya patuh pada apa yang selalu dikatakannya. Apalagi ia kapten Yanita.
Herry memang patut menyandang sesuatu yang terbaik. Ia merupakan contoh paling nyata tentang kedisiplinan seorang pemain. Tentang kesadaran bagaimana kalau sepakbola merupakan periuk nasi pemain. Bos mana yang tak merasa beruntung jika memiliki Herry, termasuk juga Pak Katua, sampai begitu alot melepasnya keluar.
Tapi tentunya tantangan yang semakin berat telah siap menghadangnya. Mampukah ia melewatinya, paling sedikit tantangan dalam perebutan Piala ASEAN I ini?
(Penulis: Mahfudin Nigara, Tabloid BOLA edisi no. 43, Jumat 21 Desember 1984)
Editor | : | Caesar Sardi |
Komentar