"Letusan Senjata Mewarnai Kemenangan Malang". Demikian judul berita Kompas mengenai pertandingan Persema Malang melawan PS Bengkulu di hari terakhir putaran pertama kompetisi divisi utama PSSI Wilayah Timur di Ujungpandang, Selasa lalu.
Situasi malam itu rupanya memang agak kacau. Bukan apa-apa, tapi semata-mata karena meluapnya minat publik untuk menyaksikan pertandingan malam itu. Maklum, setelah pertandingan pertama Persema-Bengkulu itu tim tuan rumah PSM akan tampil menghadapi lawan bebuyutannya, Persebaya Surabaya.
Sementara itu di sebagian besar negara Eropa kompetisi terpaksa dihentikan lebih lama dari sekadar liburan musim dingin. Cuaca yang tahun ini dinilai paling buruk, konon akibat badai salju di Siberia, membuat Liga Jerman Barat misalnya, memperpanjang istirahatnya. Di negeri Belanda, klub-klub liganya juga terpaksa menyelenggarakan turnamen dengan tim kecil (enam pemain) di dalam gedung tertutup.
Apa yang ingin saya kemukakan dari dua cuplikan berita di atas adalah ini: bahwa kita mempunyai massa penonton yang cukup atau malah amat besar - dan sementara itu kita tidak mempunyai hambatan alam seperti Eropa dengan badai salju dan musim dinginnya yang berkepanjangan itu.
Dengan kata lain, kita bisa melaksanakan kegiatan bersepakbola kapan saja kita mau, termasuk di bulan puasa, dan ada massa atau publik yang siap untuk menyaksikannya, jika kegiatan itu memang cukup pantas untuk ditonton.
Ini tidak lain adalah aset. Modal yang amat penting bagi kita untuk berkembang dan berprestasi. Tapi, kemudian pasti timbul pertanyaan, kenapa prestasi sepakbola kita "begitu-begitu saja"? Kenapa belum pernah lagi kita tampil sebagai juara di forum internasional untuk katakanlah Asia Tenggara saja? Kenapa Arab Saudi yang ketika kita jaya "belum tahu bola" kini jadi juara Asian dan kita lolos dari babak penyisihan pun tidak?
Jawaban yang biasanya terdengar dan dianggap "diplomatis" adalah bahwa perkembangan sepakbola kita bukannya mandeg: tetap jalan dan juga mengembang, tapi perjalanan dan perkembangan negara-negara lain lebih cepat dari kita.
Tapi kalau kita mau sedikit lebih detil, jawaban lain yang lebih lugas bisa ditemukan. Ibaratkan saja dengan tambang emas, misalnya. Kita punya tambangnya: cukup berserakan bibit-bibit pemain kita yang berbakat. Kita juga punya modal di luar uang: massa yang selalu bergairah seperti di Ujungpandang tadi. Jadi tinggal bagaimana menggosoknya, bagaimana mengolahnya. Ini membutuhkan organisasi yang cukup baik. Tak usah hebat. Yang penting pengurusnya mengerti bagaimana mengolahnya, yaitu tahu bagaimana mencari ahli pengolahnya.
Memang, persepakbolaan kita tak bisa dibandingkan dengan Inggris, Jerman, atau Brasil misalnya. Persoalan di sana sudah bukan lagi menyusun, menjabarkan, dan melaksanakan PPSN. Doktrin, kalau mau disebut begitu, sudah tertanam mantap sejak lama. Kalau ada persoalan, dan bisa jadi rewel, biasanya hanya menyangkut masalah pembentukan tim nasional saja.
Tapi di sini kita tak hanya mempersalahkan, sering sampai berlama-lama, kenapa pemain ini dipanggil dan pemain itu tidak. Di sini, selama beberapa periode kepengurusan PSSI, kita seperti digiring untuk bosan dengan sebuah "mazab" dan program andalannya: tertarik pada harapan baru; bosan lagi; ada harapan baru lagi; begitu seterusnya - tanpa pernah sampai.
Akibatnya, kita tak pernah yakin betul pada prinsip-prinsip yang universal dan terbukti kebenaran atau keampuhannya. Cara membina dengan orientasi pada klub misalnya, dianggap sempit atau menguntungkan segelintir orang saja: mutu ditakar dengan jumlah penontonnya semata-mata.
Persoalan dan sikap sepakbola kita, ternyata, masih melingkar di sekitar itu-itu saja. Klasik dan bandel. Tapi apakah lantaran ini kita tak juga muncul lagi ke permukaan yang ceria?
(Penulis: Sumohadi Marsis, Tabloid BOLA edisi no. 48, Jumat 25 Januari 1985)
Editor | : | Caesar Sardi |
Komentar