Perayaan kemerdekaan Indonesia bulan Agustus lalu digelar bangsa ini. Indonesia sudah merdeka 68 tahun. Namun sudahkah sepak bola negara ini merdeka? Sekadar mengingatkan: merdeka artinya 'bebas dari penjajahan, tidak tergantung pada orang atau pihak tertentu'.
Indonesia Super League sudah selesai. Pertarungan memperebutkan gelar sudah usai: Persipura sampai paling awal di garis finis. Perjalanan panjang mereka tempuh hingga lawan terakhir penentuan gelar melawan Persiwa di Wamena. Perjalanan panjang di sini bermakna harafiah, bukan kiasan: perjalanan geografis yang jauh: 44.031,5km.
Ya itulah jarak udara (jarak berupa garis lurus) antarkota yang ditempuh Mutiara Papua sepanjang ISL musim ini hingga mereka berhasil memastikan raihan gelar. Itulah jarak yang dilalui sejak mereka bertandang ke Bandung dan Tangerang hingga Balikpapan, Martapura, dan Wamena. Jarak itu bahkan tidak termasuk jalan raya yang mereka susuri.
Sistem kompetisi ISL mengumpulkan semua peserta dalam satu divisi. Indonesia yang luasnya mencapai kira - kira 1,9j juta kilometer persegi, memiliki sistem kompetisi divisi teratas satu wilayah yang serupa dengan yang ada di Inggris (luasnya hanya 130 ribuan kilometer persegi), Italia (300 ribuan kilometer persegi), Spanyol (500 ribuan kilometer persegi), Jerman (350 ribuan kilometer persegi), dan Prancis (670 ribuan kilometer persegi).
Konsekuensinya Persipura mesti mengeluarkan banyak energi dan uang untuk menjalani semua pertandingan selama semusim: tiket pesawat, bus, penginapan, sewa lapangan latihan, makan. Secara fisik, Boaz Solossa mesti menghabiskan waktu akumulasi sangat panjang di perjalanan. Kita bisa bayangkan energi fisik dan psikologisnya yang mesti tercurah saat selama semusim menempuh perjalanan yang luasnya beda - beda tipis dengan jarak keliling bumi.
Mengapa mesti satu divisi? Apakah karena kebanyakan liga Eropa juga menggunakan sistem satu divisi? Atau karena titah FIFA dan AFC? Apa pun ajawabannya, tampaknya jelas bukan karena pertimbangan tentang karakter negara Indonesia sendiri. Ini bukan fenomena satu - satunya yang menggambarkan ketidakberdayaan bangsa ini dalam tata pergaulan dunia. Semua telah berlangsung sejak lama.
Sejak bangsa - bangsa Asia dan Afrika banyak yang merdeka pada pertengahan lalu, tidak sedikit yang bingung hendak melakukan apa dengan kemerdekaannya itu. Saat itulah Barat, yang sebagian dulu menjajah mereka, menyajikan "resep mengisi kemerdekaan". Para perekayasa sosial Barat ini "membantu" negara - negara baru merdeka itu mengubah diri menjadi bangsa "modern" dan "maju". Apa definisi maju dan modern? Ya, kurang lebih mirip dengan Barat-lah. Mudahkan perubahan itu? Sulit. Saking sulitnya, negara - negara baru Asia dan Afrika itu mesti "mengajukan pinjaman" dulu kepada Barat.
Apa yang terjadi setelah itu? Kira - kira 50-60 tahun kemudian, bangsa - bangsa Barat ternyata lebih maju dari kebanyakan bangsa Asia dan Afrika. Sementara yang maju dari Asia dan Afrika adalah jumlah hutangnya. Dependensi alias ketergantungan pun tercipta.
Di sepak bola pun kurang lebih begitu , bukan? Sepak bola domestik menjadi "tamu kurang keren" di negeri sendiri. Okelah, banyak yang suka ISL, tapi rasanya die-harder lebih banyak. Kunjungan tamu - tamu dari seberang pada Juli lalu bisa menjadi sinyalnya, bukan?
Artikel ini ditulis oleh Achmad Lanang Sujanto dan dimuat oleh FourFourTwo Indonesia edisi September 2013.
Ikuti segala perkembangan terbaru tentang sepak bola di @FFT_Indonesia.
Editor | : | Dominico Tri Sujatmoko |
Komentar