Jika ingin menguji seberapa jauh pengetahuan tentang sepak bola, khususnya di Italia mungkin inilah saatnya. Jauh dari hingar–bingar perebutan scudetto dan perjuangan meraih salvezza ada sebuah klub sepak bola amatir yang bernama Spartak Lecce. Lumrah jika kemudian mengasosiasikan klub ini dengan klub lain dari Rusia yang juga memiliki nama depan Spartak.
“Pemilihan nama Spartak Lecce adalah sebuah penghormatan untuk Spartacus, seorang budak yang melakukan pemberontakan terhadap kekaisaran untuk kebebasan dirinya dan teman–temannya. Kami melihat sepak bola modern saat ini sebagai simbol kekaisaran dan kami berjuang untuk melawan hingga kami mendapat apa yang seharusnya menjadi hak kita,” jelas Sabrina Abbrescia, presiden klub.
Sekedar mengingat, Spartacus adalah seorang budak dan juga gladiator pada masa Kekaisaran Roma yang kemudian memimpin para budak melakukan perlawanan, peristiwa tersebut akhirnya dikenal dengan Perang Budak Ketiga (Third Servile War). Dengan alasan tersebut kisahnya sering diibaratkan sebagai perlawanan kaum tertindas. Di masa kini kisahnya kemudian diadaptasi menjadi serial TV.
Pelindung kepala kaum barbar kemudian diadaptasi ke dalam logo klub Spartak Lecce, bersama dengan logo bola kulit yang dikelilingi oleh rantai yang rusak menjadi simbol yang menggambarkan rusaknya nilai-nilai sosial sepak bola. Sementara itu, penggunaan bendera merah dan hitam pada ban kapten sebagai wujud perlawanan kelompok antifasis. Slogan 'Antifaschistische Aktion' tersemat di lengan kapten tim. Bendera merah dan hitam melambangkan simbol anarki yang merupakan perlawanan terhadap rasisme, seksisme, dan fasisme.
Spartak Lecce seperti yang dikisahkan oleh Sabrina merupakan tim yang dihasilkan dari sebuah proyek Football Without Frontiers (Calcio Senza Confini), sebuah turnamen yang diprakarsai oleh Bfake, sebuah asosiasi kebudayaan yang kerap menyuarakan semangat antirasisme dan segala bentuk diskriminasi. Calcio Senza Confini merupakan turnamen sepak bola 9 lawan 9 yang digelar di Lecce 5 tahun belakangan. Turnamen tersebut biasa dimainkan setiap akhir pekan pada bulan Maret sampai Juli, pesertanya komunitas migran dari Afrika antara lain Maroko, Tamil (Sri Lanka), serta masyarakat lokal.
“Setelah lima tahun akhirnya pada medio 2011 kami memutuskan untuk membawa perjuangan kami ke level nasional dan terbentuklah Spartak Lecce,” kata Sabrina Abbrescia.
Beberapa tahun belakangan sebagian besar stadion di Italia tidak dipenuhi oleh para penonton, selain itu fakta bahwa rasisme yang merusak pertandingan kerap terjadi, kasus Kevin Prince Boateng yang mendapat teriakan bernada rasial menjadi rekaman buruk sepak bola di Italia.
Menurut Sabrina sepak bola sudah kehilangan fungsi sosialnya dan segala sisi positif dari sepak bola nyaris hilang. Sepak bola Italia sudah mengalami sebuah kemerosotan dari segala aspek, oleh karena itu Sabrina bersama Spartak Lecce bermaksud untuk melakukan perubahan dari bawah dan mengembalikan sepak bola yang memiliki nilai sosial.
Banyaknya pemain non-Uni Eropa yang dimiliki oleh Spartak Lecce membuat klub tidak bisa memainkan pertandingan karena berbenturan dengan peraturan dari liga tentang pembatasan pemain non-Uni Eropa, bertentangan dengan proyek sepak bola tanpa batasan yang didengung–dengungkan oleh Spartak Lecce.
Namun setelah ditelaah lebih lanjut ada sebuah celah dalam peraturan yang mencatat bahwa jika pemain asing tidak pernah terdaftar dalam federasi di negara asal mereka maka FIGC (Federasi Sepak Bola Italia) akan menghitung mereka sebagai pemain lokal. Mengingat banyaknya pemain mereka merupakan anak dari imigran yang lahir di Italia ataupun pelajar dari luar Eropa yang sedang melanjutkan studi di Italia. Kemampuan Spartak Lecce untuk jeli terhadap peraturan kemudian menjadikan mereka sebagai referensi bagi beberapa klub lain.
Kendati masih berkiprah di divisi terbawah model kepemilikan Spartak Lecce bisa dikatakan cukup menarik. Klub yang dimiliki oleh anggota merupakan model yang dipilih, seperti beberapa klub di Jerman dan Spanyol.
“Ada berbagai jenis saham yang dapat dibeli dan setiap pemegang saham adalah pemilik efektif klub ini. Untuk pencarian dana kita dapat menjual barang dan pernak – pernik klub, jika memungkinkan kita semua dapat berkumpul dan makan bersama.” kata Sabrina.
Well, dengan semangat positif seperti itu bukan tidak mungkin jika kemudian Spartak Lecce mampu menembus Serie A dan mengubah paradigma para penikmat sepak bola modern, sekaligus menginspirasi perubahan cara pandang banyak klub sepak bola dunia termasuk di Indonesia.
Dimuat di BolaVaganza edisi November 2013.
Editor | : | Dominico Tri Sujatmoko |
Komentar