Bagi setiap anak Papua, membela Persipura Jayapura adalah salah satu pencapaian tertinggi dalam karier sepak bola. Titik ini yang sudah dicapai oleh anak muda bernama Friska Elisa Womsiwor.
Penulis: CW-1/Andrew Sihombing
Perjuangan Friska dimulai di sebuah distrik di Papua Barat, yakni distrik Ransiki. Diawali dengan bermain bola dengan kaki telanjang dan lapangan berlumpur. Pemberian sang paman yang seperti membuatnya kian yakin menekuni bal-balan.
"Paman saya juga pemain bola, posisinya di sayap kanan. Ketika dia pulang dari Palembang, dia memberikan saya sepatu bola dan mengajak saya ke lapangan untuk berlatih," tutur Friska.
Mulanya, ia bukan penyerang sayap seperti dikenal sekarang. Friska kecil dulunya berposisi sebagai libero. "Kemudian saya dijadikan gelandang saat tampil di Liga Pendidikan," tuturnya.
Dari sana Friska mendapatkan kesempatan masuk ke dunia profesional. Ia sempat dipanggil Perseman dan ikut latihan di klub asal Manokwari tersebut. Tapi, Friska tak sempat bermain karena Perseman mengalami dualisme.
Friska lantas bergabung dengan Persewon Wondama. Di sana Friska hanya bermain satu musim pada 2014 di Divisi Utama. Selepas dari Persiwon, Friska pun ditantang untuk melangkah lebih jauh.
Alex Robinson, eks Persela yang sudah kenal Friska sejak di Papua, menantang Friska untuk mengembara ke Pulau Jawa. Friska menyambut tantangan itu dan pergi ke ibu kota.
Sesampainya di Jakarta, Friska lantas menuju Tangerang. Di sana ia ditampung oleh Alex beserta pemain-pemain Liberia lainnya, seperti Erick Weeks, Stephan Mennoch, dan Roberto Kwateh.
Berkat bantuan pemain yang disebut terakhir, Friska dikenalkan dengan manajemen PSCS Cilacap dan diberi kesempatan mengikuti seleksi.
Ia lolos, tapi karier di klub tersebut tidak lama karena kompetisi bubar di tengah jalan. Saat bermain di PSCS inilah Friska didorong ke posisi penyerang sayap.
“Selepas dari Cilacap, saya pulang ke Manokwari. Mama sempat melarang saya bermain bola. Dia menyuruh saya kuliah. Ini membuat saya sempat bersitegang dengan mama,” kata Friska kepada BOLA.
Pintu Terbuka
Friska memahami alasan sang ibu melarangnya bermain bola. “Dia berpikir tentang hari tua pesepak bola, ditambah lagi saat itu kondisi liga sedang dibekukan. Hal ini semakin membuat mama pesimistis akan masa depan pesepak bola," ucap Friska.
"Tetapi, keinginan hati saya keras. Saya bilang pada mama, selagi rumput masih hijau saya akan terus bertanding,” tutur lelaki kelahiran 3 Mei 1995 tersebut.
Waktu terus berjalan hingga Friska tampil di turnamen Liga Bank Papua. Friska tampil bagus dan menjadi top scorer di ajang tersebut.
Kebetulan, Jafri Sastra (ketika itu merupakan pelatih Persipura) hadir di partai final dan tak ragu memanggil Friska untuk bergabung dengan Mutiara Hitam.
Baca Juga:
- Resmi Angkut Kyle Walker, Man City Habiskan Rp 2,2 Triliun buat 3 Pemain
- Seusai Bali United Pesta Gol, Widodo Kecam Eks Pemain Juventus
- Hasil Undian Liga Champions, Mario Balotelli Temui Lawan Tersulit
Terbukanya pintu Persipura ini yang kemudian membuat sang ibu memberikan restunya.
“Ketika saya masuk Persipura, mama hanya bilang kalau keinginan saya lebih kuat dibanding kekhawatiran mama. Akhirnya mereka mendukung saya bermain sepak bola,” ucapnya.
Friska mengaku sempat gugup kala mulai berlatih dengan Mutiara Hitam. Betapa tidak, ia kini mengenakan seragam yang sama dan berlari di atas rumput yang sama dengan bintang-bintang yang dulu cuma bisa dilihatnya di layar kaca.
"Tapi, lama-kelamaan saya jadi terbiasa, terutama karena para senior juga sangat baik dan langsung menerima saya," ucap Friska.
Satu anak tangga sudah dilewati oleh Friska. Namanya pun kini sudah melambung tinggi, khususnya berkat trigol ke gawang Mitra Kukar, yang notabene dilatih Jafri, pada pekan ke-12 Liga 1.
Kini, di hadapannya sudah membayang satu tantangan lagi: tim nasional!
"Saya akan sangat bersyukur bila dipanggil timnas. Kalau tidak bisa memperkuat timnas, tidak lengkap tujuan saya berkarier di sepak bola," tuturnya.
Editor | : | Aloysius Gonsaga |
Sumber | : | Tabloid BOLA |
Komentar