Pada 21 Mei 2017, rivalitas suporter sepak bola Indonesia kembali memakan korban jiwa. Pemuda bernama Agen Astrava (20) tewas usai dikeroyok beberapa oknum suporter di daerah Bulak Kapal, Bekasi.
Agen Astrava merupakan suporter Persija yang kala itu menyaksikan laga Macan Kemayoran versus Bali United di Stadion Patriot, Kota Bekasi. Seusai pertandingan, ia hendak pulang menuju Cikarang, tetapi dihadang segerombolan orang tak dikenal.
Sebuah lembaga pegiat sepak bola Indonesia, Save Our Soccer, mencatat bahwa kematian Astrava merupakan yang ke-55 sejak 1995. Itu pun belum ditambah kasus yang tidak terekam atau tak sampai ke media.
Tentu, pencinta sepak bola Tanah Air tak ingin bal-balan layaknya perang yang memakan nyawa. Publik Indonesia tentu menginginkan sepak bola nyaman dan aman ditonton.
“Segala upaya dilakukan baik oleh PSSI maupun operator kompetisi."
Wakil Ketua Umum PSSI, Joko Driyono
Keamanan tingkat tinggi dalam sejarah sepak bola Indonesia pernah terjadi ketika final Piala Presiden 2015 antara Persib versus Sriwijaya FC.
Disebut paling tinggi sejak rivalitas suporter Persib dan Persija meletus pada 2000-an awal. Maung Bandung bisa melangsungkan laga final itu di Jakarta, tentu dengan ancaman “si empunya” kota, Jakmania.
Memang, pengamanan menjadi makin kuat lantaran Presiden Joko Widodo turut hadir. Personel keamanan pun membengkak jadi 30 ribuan.
Namun, terlepas dari kehadiran Presiden Indonesia atau tidak, toh sepak bola Indonesia sejatinya bisa menyajikan pengamanan ketat sehingga meminimalisasi jatuhnya korban akibat rivalitas.
Publik sepak bola Indonesia bertanya mengapa pengamanan seperti itu tak lagi diterapkan.
Usut punya usut jawabannya balik lagi ke soal duit. Bayangkan saja, laga-laga Liga 1 hanya menghadirkan personel keamanan berkisar 1.000 hingga 3.000 orang.
Hanya, personel keamanan bukan satu-satunya solusi menghentikan kekerasan suporter. Wakil Ketua Umum PSSI, Joko Driyono, menjelaskan ada banyak faktor munculnya kasus kematian suporter.
“Segala upaya dilakukan baik oleh PSSI maupun operator kompetisi. Banyak faktor yang memengaruhi timbulnya korban jiwa dari sepak bola Indonesia. Pekerjaan rumah kami banyak, dari mulai infrastruktur, identifikasi perilaku atau kebiasaan suporter, hingga soal dana pengamanan," ucap Joko.
"Infrastruktur Indonesia belum secanggih di Eropa dengan CCTV (closed circuit television/televisi sirkuit tertutup) dan sistem tiket yang langsung mengidentifikasi identitas suporter."
"Belum lagi kebiasaan suporter yang harus dianalisis sampai kepada tingkat ekonomi atau pendidikan. Dana pengamanan juga masih dicari solusi. Pengamanan luar biasa ketat tentu membutuhkan dana besar. Kalau pendapatan klub misalnya Rp 1 miliar tiap pertandingan tapi pengeluaran untuk pengamanan Rp 2 miliar, tentu bisnis bisa rontok,” tutur pria yang akrab disapa Jokdri itu.
Baca Juga:
- Kontrak Diperpanjang Milan, Montella Mengaku Terkejut
- Target 'Gila' Guardiola di Man City Setelah Gagal Total pada Musim Perdana
- Meski Kecewa Timnas U-19 Kalah 0-1, Indra Sjafri Ucapkan Selamat kepada Brasil
Jokdri juga menambahkan jangan sampai sistem pengamanan dari petugas kepolisian atau TNI terkesan membuat sepak bola seperti perang. Hal itu juga mencederai human sports yang digaungkan FIFA.
“Sistem pengamanan berserakan dari FIFA sendiri atau dari liga-liga Eropa yang juga mengakomodasi kebutuhan negaranya. Namun, dari kacamata human sports, FIFA tak ingin sepak bola seperti perang yang diamankan sebegitu banyak personel kepolisan atau tentara dengan senjata lengkap," tutur Jokdri.
"Rivalitas itu abadi. Jangan sampai pengamanan ketat membuat sepak bola tidak ditonton lagi. Itu pun salah satu bentuk mencederai sepak bola. Tinggal sekarang dirumuskan bagaimana kuantitas personel keamanan efektif memegang suporter. Sebagai contoh sekarang, polisi terbaik sebetulnya dari suporter sendiri. Pihak koordinator wilayah mulai menerapkan sanksi buat anggota yang menyalakan cerawat misalnya,” kata Joko.
Editor | : | Estu Santoso |
Sumber | : | Tabloid BOLA |
Komentar