PSM Makassar terbilang paling keras mempertanyakan regulasi pemain Liga 1. Tak hanya soal pemain U-23, juga marquee player. Mereka punya cara sendiri dalam membangun tim menuju kompetisi resmi.
Penulis: Ram Makagiansar
Juku Eja keberatan dengan regulasi harus mengontrak minimal lima pemain U-23 dan menurunkan minimal tiga di antaranya sebagai starter selama paling sedikit 45 menit.
Pelatih Robert Rene Alberts cenderung melihat regulasi tersebut sebagai “pemaksaan”. Arsitek berkebangsaan Belanda itu menegaskan bahwa pemain U-23 bisa tampil jika benar-benar siap.
Penolakan PSM juga berlanjut ke poin berikutnya, yaitu soal marquee player. Kedatangan Michael Essien tiba-tiba menghebohkan sepak bola Tanah Air.
Tak lama kemudian regulasi soal marquee player berlaku, di mana setiap klub boleh memiliki satu marquee player di luar tiga kuota pemain asing.
Regulasi yang penuh tanda tanya lantaran diterpa isu miring mengakomodasi kedatangan Essien. Menilik situasi itu, Juku Eja menegaskan tak ingin ikut ambil bagian meramaikan bursa marquee player.
Bujet menjadi alasan utama PSM tak membeli marquee player. Pasalnya, manajemen Juku Eja sudah menyusun anggaran jauh-jauh hari dan tak bisa mengubah tiba-tiba untuk mengakomodasi pembelian marquee player.
Kondisi itu membuat PSM fokus mengoptimalkan skuat yang ada saat ini.
“Kami belum memikirkan soal marquee player. Jadi, kami memaksimalkan apa yang ada sekarang. Untuk menyiapkan tim saja mulai dari pemain lokal hingga pemain asing sudah harus jauh-jauh hari. Tidak bisa mendadak,” kata Munafri Arifuddin, CEO PSM.
Editor | : | Weshley Hutagalung |
Sumber | : | Tabloid BOLA |
Komentar