Konsep marquee player sebenarnya bukan hal baru di sepak bola Indonesia. Liga Primer Indonesia (LPI) pernah menggunakan cara tersebut guna menarik minat sekaligus bersaing dengan kompetisi tandingannya, Indonesia Super League (ISL).
Penulis: Ferry Tri Adi/Budi Kresnadi/Gonang Susatyo
Gaya yang dilakukan LPI sebetulnya mirip Liga Indonesia (LI) edisi perdana. Kecewa dengan kualitas pemain asing, salah satu klub LI, Pelita Jaya, mendatangkan pemain kelas dunia seperti Roger Milla dan Emmanuel Maboang Kessack, yang pernah berlaga di Piala Dunia.
Bedanya, bukan keinginan klub-klub LPI menggunakan marquee player. Konsorsium LPI yang mengucurkan dana segar untuk merekrut marquee player.
Para pemain bintang tersebut kemudian disebarkan ke beberapa klub. Rencana awal, konsorsium LPI berniat mendatangkan 12 marquee player semisal Robbie Fowler, Nicky Butt, dan Roy Makaay.
Tak hanya marquee player yang dihadirkan LPI, tetapi juga marquee coach demi mendongkrak daya tarik kompetisi. Selain itu, LPI juga menginginkan adanya transfer ilmu dari bintang-bintang dunia itu.
“Kehadiran mereka diharapkan membuat kompetisi memiliki daya tarik tersendiri. Untuk pemain, ada transfer kemampuan dan profesionalisme dari mereka. Buat pelatih, kami mengharapkan transfer ilmu dari mereka,” tutur Arya Abhiseka, General Manager Kompetisi LPI di Tabloid BOLA Januari 2011.
Baca Juga:
- Wawancara Mat Halil: Persebaya Akan Diperhitungkan
- Diego Simeone Tidak Akan Latih Real Madrid
- 5 Catatan Unik dari Indonesia Vs Myanmar
Tercatat, ada empat nama marquee player yang bermain di LPI, yaitu Richard Knopper (Belanda/PSM), Lee Hendrie (Inggris/Bandung FC), Amaral (Brasil/Manado United), dan Amancio Fortes (Angola/Semarang United).
Namun, mereka gagal bersinar. Yang mengenaskan Knopper. Pemain yang sempat membela Ajax itu telantar. Setelah LPI resmi bubar, konsorsium LPI yang membiayai marquee player tak lagi memerhatikannya.
Sampai-sampai ia dikabarkan meminta manajemen PSM untuk membeli peralatan rumah tangganya untuk biaya pulang kampung.
Biaya Klub
Menilik konsep marquee player di Liga 1, memang tak ada tanda kalau Michael Essien bakal mengalami nasib serupa Knopper. Eks Chelsea itu dikontrak dengan harga nyaris Rp 10 miliar.
Selain itu, Essien juga masuk kriteria marquee player yang dipatok operator. Marquee player kudu bermain di Piala Dunia tiga edisi terakhir (2014, 2010, 2006). Pemain bintang itu juga mesti berasal dari delapan liga paling elite dunia dan berusia di bawa 35 tahun.
Memang, pamor liga terangkat dengan kedatangan bintang dunia. Selain itu, federasi juga mengharapkan marquee player bisa melakukan transfer ilmu kepada pemain lokal dan membuat liga makin kompetitif.
Apakah demikian tujuan dari kebijakan tersebut dan menepis isu mengakomodasi kedatangan Essien?
Isu terakhir paling santer terdengar. Jika memang demikian, Persib bisa menambah satu pemain asing lagi untuk melengkapi kuota.
Kondisi Essien terakhir juga seakan menegaskan hal itu. Mantan pemain Real Madrid itu boleh dibilang menjadi pemantik api sensasi yang mengangkat nama Maung Bandung saja.
Pasalnya, boleh dibilang Essien nyaris habis. Cedera parah yang diderita saat membela Chelsea kambuhan. Terakhir, pemain asal Ghana itu didepak Panathinaikos lantaran cedera dan tak menunjukkan performa baik.
Bukankah kalau sensasi yang dikejar akan berujung seperti LPI atau LI terdahulu? Lalu bagaimana harapan transfer ilmu yang menjadi tujuan? Percuma merekrut pemain yang hampir habis, sia-sia merogoh kocek.
Namun, Djadjang Nurdjaman, pelatih Persib, menegaskan bahwa Essien belum habis dan masih bisa bermain bagus.
"Jangan hanya mengandalkan nama besar, tetapi sebetulnya sudah habis. Kalau seperti ini klub bisa rugi karena cuma buang duit. Roger Milla dan Mario Kempes misalnya, mereka datang ke sini sudah terlalu tua," kata Djadjang.
Kebijakan marquee player juga masih diperdebatkan beberapa klub, apalagi jika menilik kriteria yang diinginkan operator. Bali United menganggap kriteria itu tidak mudah dan pasti berharga mahal.
“Untuk saat ini belum diperlukan marquee player. Bali United pun belum memerlukan,” kata pelatih Bali United, Hans Peter-Schaller.
Setali tiga uang dengan yang dikatakan Eduard Tjong.
“Dengan syarat harus pernah bermain di Piala Dunia, harga pemain tersebut sudah pasti mahal. Bila masih bisa dijangkau oleh klub Indonesia, berarti ada yang patut dipertanyakan dari pemain tersebut,” ujar Eduard Tjong.
Editor | : | Estu Santoso |
Sumber | : | Tabloid BOLA No. 2.752 |
Komentar