Tak bisa dimungkiri bahwa keberadaan pemain asing mendongkrak penampilan tim serta meningkatkan kualitas sepak bola Indonesia. Penggunaan jasa ekspatriat ibarat sebuah kebutuhan primer bagi klub-klub di Tanah Air yang bernafsu mengejar prestasi.
Penulis: Indra Citra Sena/Budi Kresnadi/Gonang Susatyo/Suci Rahayu
Sejarah membuktikan pemain asing hampir selalu berperan aktif dalam mempersembahkan trofi juara di era Liga Indonesia (1994-sekarang).
Pengecualian hanya terjadi ketika Persib Bandung merengkuh titel Ligina I bermaterikan 100 persen wajah pribumi.
Penikmat sepak bola nasional tentu ingat bagaimana ketajaman Dejan Glucevic (Mastrans Bandung Raya; 1995/96), Jacksen F. Tiago (Persebaya Surabaya; 1996/97), dan Cristian Gonzales (Persik Kediri; 2006) membantu tim masing-masing memenangi Liga Indonesia.
Tak melulu gol, ada juga yang berandil mengkreasikan serangan tim seperti Carlos De Mello (PSM Makassar; 1999/00), Luciano Leandro (Persija Jakarta; 2000/01), dan Zah Rahan (Sriwijaya FC 2007/08), atau menggalang pertahanan layaknya Victor Igbonefo dan Bio Paulin (Persipura Jayapura; 2008/09).
Dampak besar pemain asing diakui oleh Rahmad Darmawan, yang pernah mengantarkan Persipura dan Sriwijaya FC ke tangga juara Liga Indonesia sebagai pelatih.
Korelasi hal ini dengan prestasi tim begitu besar menurut pandangannya.
“Ambil contoh paling mutakhir di Torabika Soccer Championship (TSC). PS TNI berani tidak memakai jasa pemain asing, tapi ujung-ujungnya mereka keteteran mengimbangi klub-klub lain yang menggunakan pemain asing walaupun kualitas pemain lokal klub itu lumayan bagus,” kata Rahmad.
Pria yang akrab disapa coach RD ini menambahkan, pemain asing memang krusial mengangkat derajat tim, tetapi potensi maksimal mereka bisa keluar bila benar-benar sesuai dengan kebutuhan tim dan keinginan pelatih.
“Banyak pemain asing berkualitas, tapi gagal bersinar di salah satu klub akibat gaya bermainnya tak pas dengan filosofi tim. Dia baru menemukan kesuksesan ketika hijrah ke klub lain. Lihat saja kisah Pierre Njanka. Dia meredup di Persija, tapi langsung juara begitu pindah ke Arema semusim kemudian,” ujarnya.
Baca Juga:
- Manuel Neuer Cedera, Timnas Jerman Panggil Kiper PSG
- Kapten Klub Liga Irlandia Meninggal Secara Misterius
- Christian Eriksen, Solusi Telat Panas Spurs?
Pelajaran penting lain yang bisa diambil dari pemain asing adalah determinasi tinggi meski kondisi fisik sudah termakan usia. Bukan rahasia kalau sebagian besar ekspatriat memutuskan bermain di Liga Indonesia saat umur mereka melebihi kepala tiga.
“Intinya, pemain lokal bisa belajar secara langsung. Bagaimana mereka bisa tetap bersinar di usia senja seperti Njanka, Keith Kayamba Gumbs, dan Gonzales. Mereka harus sadar bahwa usia produktif pesepak bola bisa lebih panjang asalkan menerapkan gaya hidup disiplin,” tutur Rahmad.
Tangis Zah Rahan
Berulang kali menangani pemain asing di Liga Indonesia membuat coach RD menjalin hubungan baik dengan beberapa nama, salah satunya Zah Rahan di Sriwijaya FC.
Dia mengenang satu momen yang paling berkesan.
“Pernah suatu ketika Zah Rahan mangkir latihan sehingga saya coret namanya dari susunan pemain di pertandingan. Kala itu melawan Persib. Dia kaget dan langsung menyadari kesalahan kemudian meminta maaf kepada saya sambil menangis,” ucap Rahmad.
Tuntutan profesionalitas melebihi personel lokal menjadi sebuah keharusan bagi pemain asing, setidaknya menurut pemikiran Jafri Sastra. Di sinilah dibutuhkan peran aktif pelatih untuk menegur dan mengingatkan mereka di saat berulah.
“Pemain asing jelas harus menuruti aturan manajemen karena sudah dibayar mahal dan mendapat fasilitas mewah juga. Pelatih memegang kuasa penuh menegur yang bertingkah negatif, wong mereka dikontrak mahal supaya diteladani pemain lokal,” ujar Jafri.
Editor | : | Firzie A. Idris |
Sumber | : | Tabloid BOLA No. 2.752 |
Komentar