Sejarah mencatat Liga Indonesia (LI) merupakan cikal-bakal kompetisi yang kini bernama Liga 1 2017. Kemunculan LI pada 1994 merupakan penggabungan kompetisi perserikatan (hampir berusia 60 tahun ketika itu) dan Galatama (sejak 1979).
Penulis: Ferry Tri Adi/Gonang Susatyo
Konsep mendatangkan pemain asing, yang diawali oleh Galatama, dilanjutkan pada era perdana LI.
Pintu buat pemain asing terbuka mulai Galatama bergulir pada 1979. Ada nama Paul dan Steve yang bermain untuk Pardedetex di Galatama I 1979.
Kemudian, Jairo Matos menyusul pada 1980 dan menjadi pemain asing ketiga di Galatama.
Kedatangan penggawa impor tak berhenti di situ. Kali ini dari kawasan Asia Tenggara, yaitu Singapura. Fandi Ahmad dan koleganya, David Lee, membela Niac Mitra Surabaya.
Singkat cerita, konsep Galatama itu mencuri perhatian LI. Dana segar langsung dialokasikan untuk mewujudkan rencana tersebut.
Tak tanggung-tanggung, dana Rp1 miliar digelontorkan federasi untuk membeli pemain asing.
“Promotor menjamin penyediaan dana Rp4,35 miliar per musim kepada PSSI. Dari dana itu, antara lain dipakai untuk promosi, seminar, wasit, termasuk sejumlah satu miliar untuk membeli pemain asing. Semua diserahkan kepada PSSI untuk disebar ke klub-klub,” tutur Nirwan Dermawan Bakrie di Tabloid BOLA edisi September 1994.
Seleksi pemain asing pun digelar melibatkan sebuah divisi anyar di federasi bernama Tim Teknis Pemilihan Pemain Asing, yang diketuai Andi Soemadipradja. Pada seleksi awal, ada 13 pemain yang lolos seleksi.
Namun, kali ini pemain asing mendapatkan “penolakan”. Banyak yang meragukan kualitas penggawa impor tersebut. Padahal, dana yang dikeluarkan tidak sedikit.
PSSI harus bekerja sama dengan PT Cipta Citra Sport (CCS) sebagai promotor. PT CCS mencari pemain asing melalui International Sports Association (ISA) dan ongkos kedatangan penggawa asing ditanggung promotor.
Baca Juga:
- Persib Datang untuk 'El Clasico', Suporter PSMS Senang
- Ramos: Saya Akan Memeluk Pique Saat Bertemu
- Sir Alex Akan Kembali Melatih Man United dalam Waktu Dekat
Kompetisi belum mulai, banyak pelatih yang kecewa terhadap penggawa asingnya.
M. Andi Teguh, pelatih Petrokimia Putra, berkomentar: "Suplai gratis ini meragukan nilai profesionalisme.” Begitu juga dengan Gusnul Yakin, pelatih Arema.
“Teknik Gaye kurang bagus. Ia tak di atas pemain nasional macam Aji Santoso dan Singgih Pitono. Masih belum matang.”
Meski demikian, memang tak semua pemain asing meragukan. Ada beberapa nama tampil moncer. Namun, penampilan apik mereka tetap tak mengalihkan sorotan.
Kala itu kinerja penggawa impor digugat lantaran punya mutu rendah dan tak lebih baik dari pemain lokal. Mereka tak sanggup mendongkrak mutu LI dan menjadi alat penghibur penonton.
Tak ayal, tiga dari 13 nama yang lolos seleksi tadi didepak di pertengahan liga. Empat nama lain di ujung tanduk.
“Tak menaikkan gengsi Pelita Jaya sebagai juara Galatama,” ujar Andre Amin, Manajer Pelita Jaya, mengkritik kualitas pemain asing.
Pemain lokal juga ikut mengeluh terhadap kualitas penggawa asing. Ansyari Lubis misalnya, merasa tak butuh pemain impor.
“Dulu, waktu bekerja sama dengan Buyung Ismu di lapangan, bikin gol sepertinya mudah di Galatama. Tak ada kemauan dari mereka bekerja sama. Saya merasa lelah tidak ada artinya karena tak banyak manfaat setelah ada pemain asing.”
Menilik kondisi itu, sepertinya memang kualitas pemain asing LI lebih rendah dibandung era Galatama. Pasalnya, gaji pemain asing LI pun ikut turun dibanding era Galatama, sekitar Rp3 juta.
Editor | : | Firzie A. Idris |
Sumber | : | Tabloid BOLA No. 2.752 |
Komentar