Transfer ilmu menjadi salah satu hal yang selalu didengungkan saat PSSI menunjuk sosok asing sebagai pelatih Indonesia. Apakah cara itu terbukti efektif atau menjadi teori belaka?
Penulis: Kukuh Wahyudi/Suci Rahayu/Gonang Susatyo
Dari 22 nama juru taktik asing, mulai dari Cho Seng Quee asal Singapura hingga Alfred Riedl asal Austria, PSSI hampir selalu menyelipkan nama lokal sebagai asisten.
Hal itu dimaksudkan agar pelatih-pelatih Tanah Air dapat berguru dengan pelatih asing yang dianggap lebih unggul.
Rahmad Darmawan, yang sempat menjadi asisten di era Ivan Kolev (2002) dan Peter White (2004), bisa menjadi bukti bahwa transfer ilmu memungkinkan terjadi.
Baca juga:
- Ancelotti: Tak Sembarang Orang Bisa Latih Real Madrid
- Robben Minta Xabi Alonso Lupakan Rencana Pensiun
- Klopp: Permainan Liverpool Lebih Baik ketimbang di Anfield
Usai tugasnya di timnas itu, Rahmad menjelma menjadi pelatih yang dipuji cerdas.
Pada 2005, ia mengantarkan Persipura menjuarai Liga Super Indonesia 2005.
Saat hijrah ke Sriwijaya, lagi-lagi Rahmad membawa tim besutannya menjadi juara LSI edisi 2007-2008 dan Copa Indonesia di tiga edisi beruntun (2007-2008, 2008-2009, 2009-2010).
"Soal proses transfer ilmu, saya harus membandingkan dengan apa yang saya dapatkan dalam kursus kepelatihan. Lalu, saya lihat perlu atau tidaknya metode tersebut dipakai," kata Rahmad.
"Ketika menjadi pelatih, kadang filosofi kepelatihan pribadi tidak sama dengan pelatih asing tersebut. Artinya, memang ada yang bisa diambil, Namun ada juga yang dibuat sebagai tambahan ilmu pengetahuan saja," tutur RD, sapaan akrab Rahmad.
Editor | : | Weshley Hutagalung |
Sumber | : | Tabloid BOLA No.2.734 |
Komentar