Masih cukup waktu bagi Mercedes untuk tetap berada di singgasana teratas mesin F1 saat ini. Namun, tim-tim lain berusaha mengejarnya. Renault, Honda, dan Ferrari tak ingin melihat Mercedes terus dominan.
Penulis: Arief Kurniawan
Beberapa pemasok mesin hingga kini masih terus memburu performa power unit (mesin) asal Jerman tersebut. Memang, sejak regulasi mesin hibrida diberlakukan pada 2014 Mercedes belum terkalahkan hingga kini.
Renault, Honda, dan Ferrari adalah tiga pemasok mesin yang bertarung untuk menggoyang posisi Mercedes di puncak. Ferrari dan Renault silih berganti mendekati, belum melewati, sementara Honda baru menapak.
Yang paling menarik tentu saja Renault. Mesin Prancis ini justru bagus bukan karena tim pabrikan mereka yang bernama sama, Renault, melainkan dari tim Red Bull. Uniknya lagi, Red Bull mengganti nama mesin Renault itu dengan Tag Heuer.
Sebagai tim pabrikan, tahun 2016 Renault hanya mendapatkan delapan angka, terpaut 460 angka(!) dari Red Bull.
Kalau Red Bull bisa ada di peringkat dua klasemen konstruktor, Renault ada di posisi 9 alias hanya unggul atas tim-tim yang secara total mendapat tiga angka, Sauber (2) dan Manor (1).
Faktor terbesar adalah sasis dan kualitas pebalap mereka. Sasis Red Bull, RB12, adalah salah satu yang terbaik di grid bila tidak yang terbaik.
Di lain sisi, uji coba yang kerap bermasalah membuat sasis Renault R.S.16 adalah yang terburuk sepanjang 2016.
Bila dibandingkan dengan sesama tim pabrikan lain, Mercedes dan Ferrari, maka Renault tentu bertolak belakang. Mercedes sebagai tim pabrikan sangat unggul jauh atas tim-tim yang mendapatkan pasokan mesin dari mereka. Sama hal dengan Ferrari.
Bahkan, karena internal tim tak memiliki kesamaan pandangan dalam pengembangan mobil, Team Principal Frederic Vasseur memilih untuk mengundurkan diri dari Renault.
[video]http://video.kompas.com/e/5284672113001_v1_pjuara[/video]
Generasi Kedua ERS
Renault mengaku musim ini adalah era baru pengembangan mesin mereka. Periode 2014-2016 telah usai. Salah satu yang bakal jadi andalan mereka adalah ERS (energy recovery system), di mana ada MGU-K dan MGU-H di sana.
"Kami yakini itu akan mencapai titik maksimal yang diizinkan regulasi, yakni 120kW (setara 160 tenaga kuda)," ujar Cyril Abiteboul, Direktur Pelaksana Renault. Abiteboul sendiri tak merinci dari mana mereka bisa mendapatkan tenaga ekstra tersebut.
Dia hanya mengakui musim 2016 dilaluinya dengan fantastis, pasti yang dimaksud adalah bersama Red Bull. "Dan tahun ini kami memiliki arsitektur baru di mesin kami, sekaligus generasi kedua ERS kami," ujar pria asal Prancis tersebut.
Sementara itu, Honda mengubah layout mesin mereka. Tadinya, dengan maksud menjadi mesin paling ramping, pabrikan Jepang ini malah memiliki mesin yang paling ringkih. Selain tidak cepat, mereka juga menjadi mesin yang paling mudah rusak.
Namun, pada 2016 ada perbaikan signifikan yang mereka lakukan. Mesin mereka belum terlalu cepat, tapi paling tidak sudah jarang rusak. Perolehan poin yang menaik drastis, 27 (2015) ke 76 (2016) adalah bukti sahih.
Mesin ramping yang dibuat Honda pada 2015 dan 2016 membuat kinerja turbo tidak maksimal.
Inilah yang membuat Fernando Alonso dan Jenson Button selalu kesal, karena tak jua mampu bersaing, bahkan dengan tim papan bawah sekalipun.
Sementara itu, Ferrari makin yakin bahwa masalah terbesar mereka tidak melulu ada di power unit.
Pada beberapa kesempatan musim lalu, terutama di sirkuit yang butuh power, mereka sangat unggul atas Renault. Kalaupun masih kalah dari Mercedes tetap bisa dimaklumi.
Pada seri terakhir di Abu Dhabi, di mana ada dua tempat untuk memamerkan kekuatan mesin, Ferrari memperlihatkan keunggulan mereka tersebut.
Bila pada 2017 ini mereka memperbaiki sasis, bukan mustahil Red Bull akan lebih sering mereka kalahkan, walau Mercedes tampaknya masih sulit.
Editor | : | Firzie A. Idris |
Sumber | : | Tabloid BOLA No. 2.734 |
Komentar