Turnamen Piala Afrika yang selalu berlangsung ketika musim liga-liga di Eropa sedang berjalan kerap memicu pertentangan dari klub-klub yang terpaksa kehilangan para pemain. Apalagi bila pemain tersebut termasuk pilar di sebuah klub.
Penulis: Theresia Simanjuntak
Selain soal kompetisi, alasan ain dari protes klub umumnya mengenai potensi pemain mereka kelelahan sehingga tidak cukup fit saat harus kembali dari tugas di Piala Afrika. Pemain yang kurang bugar bisa saja mengusik performa tim di liga.
Inilah yang dicemaskan.
Menilik pada sejarah turnamen ini, sesungguhnya kekhawatiran itu cenderung berlebihan. Ada beberapa alasan yang dapat mempertegas hal ini. Pertama, fakta bahwa Piala Afrika biasanya berlangsung dari pekan kedua Januari hingga awal Februari.
Artinya, ajang yang berlangsung hanya berupa kompetisi domestik mengingat Liga Champion dan Liga Europa yang sempat libur sejak akhir Desember baru berjalan kembali pada akhir Februari.
Jumlah pertandingan yang sudah sedikit itu juga terpangkas di sejumlah liga Eropa yang kompetisinya sempat libur Natal dan Tahun Baru dan baru berlanjut kembali pada pertengahan Januari.
Contohnya Bundesliga Jerman.
Total gim yang dilewatkan pemain Benua Afrika dapat semakin sedikit bahkan tidak ada sama sekali apabila tim nasional yang mereka perkuat tersingkir lebih cepat dari Piala Afrika.
Baca Juga:
Ambil cerita Pierre-Emerick Aubameyang. Pada Januari 2015, Borussia Dortmund tetap bisa menggunakan sang penyerang.
Sempat membela Gabon yang tersingkir di fase grup Piala Afrika 2015, ia kembali ke Dortmund pada akhir bulan itu dan masuk ke tim untuk gim perdana Bundesliga setelah libur, yakni melawan Leverkusen (31/1/15).
Kedua, Piala Afrika merupakan ajang terjadwal dari FIFA. Tentunya klub telah mengantisipasi kehilangan pemain sejak jauh-jauh hari.
Lagi pula, cuma segelintir pemain Benua Afrika dalam satu klub Eropa, sehingga sebuah tim tidak perlu membuat perubahan besar-besaran dalam taktik.
Siap Tak Siap
Sepertinya, banyak klub yang siap menghadapi Piala Afrika. Buktinya, nyaris tidak terdengar kisah prestasi sebuah klub terjun bebas gara-gara ditinggal pemainnya ke Piala Afrika.
Sebaliknya, sejumlah klub masih mampu bersaing dengan para rival masingmasing. Banyak contoh nyata. Pada 2009/10, Internazionale kehilangan striker tajam, Samuel Eto'o, yang memperkuat Kamerun di Piala Afrika 2010.
Begitu pula Chelsea yang harus merelakan bomber Didier Drogba membela Pantai Gading. Baik Inter maupun Chelsea tak terkalahkan di semua ajang selama dua pemain penting mereka absen.
Inter malah menjuarai tiga turnamen, termasuk Serie A dan Liga Champion 2009/10, sementara Chelsea kampiun Premier League musim itu.
Pada akhir musim tersebut, Eto'o menyumbang 16 gol buat Inter, sedangkan Drogba membukukan 37 gol di seluruh kompetisi bagi Chelsea.
Dari dua alasan ini, dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh signifikan bagi klub dari perginya seorang pemain ke Piala Afrika jika klub sudah mengantisipasi. Hal ini diamini penyerang Liverpool, Sadio Mane, yang sekarang sedang bersama tim nasional Senegal.
"Tanpa saya, Liverpool akan tetap sama, bahkan lebih baik lagi. Mereka mampu mengatasinya. Philippe Coutinho segera kembali, Joel Matip juga, dan Daniel Sturridge sudah bermain lagi," ujar Mane kepada The Guardian.
Apa yang terjadi bila klub Eropa tidak menyiapkan diri kehilangan pemain karena Piala Afrika? Lihat pengalaman Manchester City ini.
Pada Januari 2015, The Citizens kehilangan gelandang senior Yaya Toure selama tiga pekan, sebab Pantai Gading mengikuti semua laga dan kemudian menjuarai Piala Afrika 2015.
City bermain tanpa Yaya dalam empat laga di seluruh ajang. Tidak ada satu gim pun yang berhasil mereka menangi (2 kalah, 2 seri). Mereka mengakhiri 2014/15 sebagai runner-up Premier League.
[video]http://video.kompas.com/e/5268486413001[/video]
Editor | : | Firzie A. Idris |
Sumber | : | Tabloid BOLA |
Komentar