Meski pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) XIX 2016 Jawa Barat, 17-29 September berjalan relatif lancar, sejumlah catatan kritis patut diapungkan terhadap ajang yang menghabiskan dana Rp 3 triliun tersebut.
Penulis: Dede Isharrudin
PON kali ini tergolong terbesar dari segi jumlah pertandingan dan venue yang dipergunakan. Tercatat, ada 44 cabang olahraga (dengan 754 nomor pertandingan dan memperebutkan 2.472 medali), plus 12 cabang olahraga ekshibisi yang tersebar di 68 venue pertandingan di 16 kabupaten dan kota se Jawa Barat.
Karena banyaknya cabang dan juga venue yang tersebar, tak pelak muncul kelemahan dalam koordinasi bidang pertandingan. Hal itu tampak dari banyak protes dari berbagai kontingen. Termasuk, protes dari 23 perwakilan KONI provinsi yang tergabung dalam Kaukus KONI Provinsi Seluruh Indonesia (KKPSI).
Tercatat sejumlah pemecahan rekor, seperti 89 rekor PON, 33 rekor nasional, dan 1 rekor SEA Games. Meski begitu, hal-hal yang mencederai sportivitas juga terjadi. Sebanyak 12 atlet kedapatan menggunakan doping di PON 2016 ini. Jumlah itu jauh lebih banyak dari PON 2008 Kalimantan Timur dengan lima atlet dan PON 2012, Riau dengan delapan atlet.
Dari jumlah 12 atlet yang doping, terbanyak berasal dari Jawa Barat dan meliputi cabang berkuda, menembak, serta angkat besi dan binaraga. Tak hanya itu, sejumlah kerusuhan terjadi di beberapa arena pertandingan.
Yang paling menonjol dan video kerusuhan sempat menjadi viral di dunia maya terjadi di cabang polo air saat tim Jawa Barat bertemu dengan Sulawesi Selatan dalam fase semifinal di Kawasan Olahraga Si Jalak Harupat, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Senin (19/9/2016).
Akibat kerusuhan itu, atlet polo air DKI Jakarta yang tengah menyaksikan pertandingan ikut terkena imbas. Bahkan, dalam tayangan video itu, atlet DKI Putra dan oknum penonton berseragam terlibat adu jotos. Ada pula protes di cabang olah raga karate, wushu, taekwondo, gulat, dan sepak bola.
"Indonesia butuh atlet bertaraf internasional yang diperoleh dari ajang PON. Jika PON kurang berkualitas karena masalah wasit, atau penyelenggara pertandingan yang tidak fair, atlet yang juara tidak berkualitas pula. Hal inilah yang harus dibenahi. Jika tidak, sampai kapan pun PON akan jalan ditempat," ungkap Muddai, mantan Ketua KONI Sumatra Selatan yang kini menjadi Wakil Ketua KOI.
Editor | : | Jalu Wisnu Wirajati |
Sumber | : | Tabloid BOLA |
Komentar