Striker-striker lokal top menjamur mulai pengujung 1990-an hingga awal 2000-an. Widodo Cahyono Putro, Kurniawan Dwi Yulianto, Budi Sudarsono, Gendut Doni Christiawan, Bambang Pamungkas, dan Ilham Jaya Kesuma adalah nama-nama tenar kala itu.
Penulis: Gonang Susatyo
Di antara mereka terselip satu figur lain dari pelosok Ternate bernama Rachmat Ma’ruf Rivai. Mengawali karier di Persiter Ternate, Rivai kurang diperhitungkan karena berpostur mini dan bermain di wilayah Timur.
“Postur tubuh saya mungil. Bahkan saat masuk tim sepak bola SMA di Ternate, saya sempat ditolak karena masalah ini. Pihak sekolah terkejut mengetahui saya bisa lolos seleksi Persiter Junior," ujar Rivai kepada Tabloid BOLA.
Postur mungil pula yang membuat Rivai selalu dipanggil Poci atau Si Kecil dalam bahasa Ternate. Panggilan ini digunakan oleh sahabatnya di kampung setiap kali bermain sepak bola bersama.
“Soalnya, saya selalu menghadapi lawan yang bertubuh tinggi dan besar. Dia selalu teriak, ‘Poci, Poci.’ Jadilah saya dipanggil orang Poci sampai sekarang,” kata Rivai seraya tertawa.
Bertubuh kecil tak membuat Rivai minder. Dia mampu membuktikan sebagai striker yang layak diperhitungkan.
Kualitasnya mulai tampak saat membela Maluku Utara di Piala Soeratin (1993-1995) sampai lolos seleksi masuk tim Baretti dan dikirim ke Italia menyusul tim Primavera.
Baca Juga:
- Tinggalkan Chelsea, Oscar Sangat Senang dengan Keluarga Baru di China
- Beli Oscar, Shanghai SIPG Lewati Arsenal dan Liverpool
- Federico Bernardeschi, Si Nomor 10 Masa Depan Italia
“Hanya, saya batal berangkat karena diminta pulang ke Ternate. Bagi saya tak masalah gagal ke Italia. Apalagi, saya kemudian bergabung dengan Persiter. Saya sudah jenuh hanya berlatih terus. Lalu kapan main bola dan terima gaji,” ucapnya.
Dari Persiter, Rivai berkutat di klub-klub papan tengah sebelum bergabung ke tim elite semacam Persipura Jayapura dan Sriwijaya FC. Di klub papan atas, dirinya ternyata memberi trofi juara.
Rivai ikut membawa Sriwijaya menjuarai Copa Indonesia 2010. Pada musim berikutnya, dia mengantar Persipura merengkuh titel Liga Super Indonesia (LSI).
“Di Sriwijaya, pelatih Rahmad Darmawan lebih banyak menempatkan saya di belakang striker. Kadang saya juga bermain di sayap seperti di tim nasional," ucap Rivai.
"Saat itu, Bambang Pamungkas menjadi targetman, sedangkan saya atau Budi Sudarsono bermain di sayap kanan. Di sayap kiri ada Boaz atau Elly,” tuturnya.
Rivai banyak belajar dari pelatih Rahmad yang menjadikan pemain untuk bisa bermain minimal di dua posisi. Saat menjadi pelatih tim Soeratin Persihaltim Halmahera Timur, Rivai pun menekankan kepada pemain agar bisa bermain di dua posisi.
Saat pensiun sebagai pemain, Rivai memilih pulang kampung lalu mengembangkan usaha kontrakan rumah di Ternate dan kapal cepat jurusan Ternate-Halmahera Timur. Setelah mengantungi lisensi pelatih C AFC, ia melakoni debut sebagai pelatih Persihaltim Halmahera Timur.
“Ada tantangan memunculkan anak-anak bertalenta ke pentas sepak bola nasional. Saya berharap Ternate tidak hanya dikenal karena ada Rizky Pora yang baru saja melejit di Piala AFF 2016. Tapi akan banyak pemain bertalenta dari Maluku Utara,” jelas Rivai.
Rivai menilai potensi Maluku Utara menelurkan pesepak bola berkualitas top tak kalah dari daerah tetangga, Papua, yang dikenal dengan sebutan Mutiara Hitam karena memiliki segudang talenta lapangan hijau.
"Maluku Utara ada Mutiara Hijau karena potensi yang luar biasa. Tim seperti Persihaltim mampu lolos ke 8 besar Piala Soeratin," ujar Rivai.
"Setidaknya kami membuktikan bahwa banyak talenta muda dari Halmahera Timur. Mereka bisa berkembang jauh lebih baik bila bergabung dengan klub-klub profesional,” katanya.
[video]http://video.kompas.com/e/5257589110001[/video]
Editor | : | Firzie A. Idris |
Sumber | : | Tabloid BOLA |
Komentar