Lagu-lagu berbau rasisme dengan pilihan kata yang tidak ramah anak masih menjadi warna suporter sepak bola Tanah Air kala mendukung tim kesayangannya. Menyedihkan, tetapi demikianlah realitasnya.
Penulis: Suci Rahayu/Budi Kresnadi/Abdi Panjaitan
Tidak ada sejarah khusus tentang kelahiranchant. Suporter pada dasarnya menciptakan dan menyanyikan lagu untuk mendukung tim sekaligus menjatuhkan mental lawan.
Namun, tujuan terakhir ini lantas bergeser menjadi hujatan terhadap suporter klub rival, termasuk saat klub tersebut tidak sedang menjadi lawan sekalipun.
Lagu-lagu bernada rasisme ini bahkan tak terhindarkan oleh Aremania, kelompok suporter Arema Cronus, kendati tidak seluruhnya demikian.
"Sebenarnya semua itu tanpa direncanakan, melainkan karena situasi di dalam stadion memang sulit dikendalikan. Ada banyak kepala dengan pemikiran masing-masing," kata Soekarno, salah satu pentolan Aremania.
Baca Juga:
- Tiba di Bandung, Djadjang Ungkap Kunci Sukses Persib Tahan PSM
- Penonton Minim, Persija Dibobol Dua Kali Oleh Pusamania Borneo
- Perwakilan Inter Milan Temui Agen Marco Verratti
Sejumlah upaya sudah dilakukan untuk meredam. Seperti saat bertandang ke markas Mitra Kukar di putaran pertama Torabika Soccer Championship misalnya, suporter sampai dilarang membawa drum dan bendera berukuran besar.
Hal ini dianggap bisa menjadi peringatan bagi Aremania untuk tidak melantunkan lagu-lagu rasis. Hanya, trik seperti itu sepertinya tidak efektif.
Cak No, panggilan akrab Soekarno, berharap ada aturan tegas atas perilaku kurang terpuji itu.
"Suporter bisa berubah. Caranya, harus ada aturan tegas yang mengaturnya," katanya.
"Misalnya, kalau menyanyikan lagu tertentu maka suporter yang bersangkutan dikenai sanksi larangan masuk stadion di beberapa laga kandang. Tetapi, batasan rasisme harus lebih dulu dibuat," tutur Soekarno.
Edukasi
Aremania jelas bukan pesakitan satu-satunya. Diakui atau tidak, mayoritas kelompok suporter di Tanah Air berperilaku serupa.
Meski sudah diperingatkan oleh operator penyelenggara turnamen dan bahkan disertai denda buat klub, chant rasis belum juga hilang.
"Chant itu kan awalnya untuk memberikan dukungan moril buat tim kesayangan. Namun, selanjutnya muncul lagu-lagu berbau rasis dengan tujuan mengejek suporter lawan. Hal ini membuat suasana memanas," ucap Asep Abdul, Ketua Bobotoh Maung Bandung Bersatu (Bomber).
Bila peringatan dan denda sudah tidak mempan, lantas bagaimana?
"Inovasi harus terus dilakukan. Tidak hanya chant, juga lewat koreografi untuk menggiring suporter tidak lagi menyanyikan lagu rasis. Hal ini memang tidak mudah, tetapi kita jangan menyerah. Suporter mesti terus diedukasi," kata Asep.
Hal senada meluncur dari mulut Bani Gultom, Ketua I SmeCk Hooligan, yang merupakan kelompok suporter PSMS Medan.
Stadion Teladan diakuinya bukan tidak pernah memperdengarkan chant rasis bagi tim tamu, namun semua itu kini mulai ditinggalkan.
"Sebaiknya chant sepak bola tidak menyinggung agama, warna kulit, atau kesukuan. Hal ini sangat negatif bagi sepak bola kita," katanya.
"Sekarang, kami lebih memilih kreatif dengan yel-yel. Marilah sekarang sesama suporter meneruskan kampanye FIFA, yang berjuang agar sepak bola terhindar dari rasisme. Sudah saatnya suporter diedukasi bahwa kehadiran mereka adalah untuk mendukung tim lewat kreativitas, bukan menghujat lawan," ujar Epol, koordinator kelompok suporter PSMS, Kampak FC.
Editor | : | Weshley Hutagalung |
Sumber | : | Tabloid BOLA |
Komentar